top of page

Suara Dosen

Oleh : Prof H. Abd. A’la,M.Ag.
Rektor UINSA

Puasa, Menajamkan Nurani, Mengembangkan Empati
 

BULAN Ramadan datang kembali. Umat Islam pada umumnya menyambut bulan penuh rahmat ini dengan kegiatan-kegiatan ibadah ritual yang lebih intens. Mulai salat sunah dengan peningkatan frekuensi yang sangat signifikan hingga tadarus (membaca) Alquran dengan khatam berkali-kali.

Kegiatan semacam itu tentu dilandasi niat umat Islam untuk takarub kepada Allah. Hal tersebut dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka menggapai taqwAllah; suatu perbuatan baik yang perlu diapresiasi dan didukung. Dialog dengan Tuhan
Namun, perlu digarisbawahi, pola ritualitas ini tidak boleh sebatas itu. Umat Islam harusnya tidak hanya sampai pada pengembangan frekuensi dan memperbanyak beragam ibadah ritual semata. Hakikat ibadah, khususnya ibadah puasa, bukan sekadar ritual. Salat misalnya, bukan sekadar kita rajin salat, sujud, rukuk, bacaannya benar. Tapi, bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai di balik salat.

Demikian pula dengan puasa. Setiap muslim yang berpuasa dituntut tidak sekadar melakukan ritual dengan menahan diri untuk tidak makan minum dan melakukan hubungan intim dengan istri atau suami di siang hari. Juga, tidak sekadar memperbanyak salat sunah, membaca Alquran, dan sejenisnya.

Inti puasa adalah melaksanakan, memaknai ibadah itu, dan melabuhkannya dalam kehidupan nyata dalam berbagai aspeknya; individual sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Pada sisi ini, manakala setiap muslim yang berpuasa sudah tidak makan minum dan sejenisnya di siang hari, padahal tidak ada seorang pun yang tahu seandainya ia mencuri-curi makan atau minum, ia sejatinya telah mengikrarkan diri untuk mengembangkan kejujuran dan ketulusan dalam kehidupannya.

Pemaknaan itu juga mengharuskan mereka yang berpuasa untuk menjadikan setiap ibadah yang dijalani sebagai sarana berdialog dengan Allah dan menghadirkan sifat-sifat-Nya ke dalam kehidupan ini.

Sejalan dengan itu, menahan diri dari makan minum dan tidak berhubungan intim di siang hari merepresentasikan upaya seorang muslim untuk melakukan manajemen diri. Kemampuan melakukan hal itu meniscayakan kemampuannya untuk mengatur sikap, pandangan, dan perilakunya untuk selalu diarahkan kepada kebaikan, kearifan, dan sejenisnya. Serta, pada saat yang sama, dihindarkan dari segala hal tercela, keburukan, kejahatan, dan seumpamanya sebagaimana diajarkan dalam agama. Menajamkan Nurani Lebih dari itu, lapar yang dirasakan, haus yang mengeringkan tenggorakan, dan mungkin juga kepenatan lebih yang dialami setiap muslim yang berpuasa menuntut mereka untuk menajamkan nurani dan memberikan ruang besar pada diri mereka untuk mengembangkan kepekaan sosial, tanggung jawab, dan mengedepankan kepentingan orang lain dan masyarakat daripada kepentingan diri sendiri dan sempit. Mereka, misalnya, masing-masing niscaya menyadari masih banyak di sekitar mereka dan tidak sedikit dari penduduk dunia yang kehidupannya dari hari ke hari hingga bulan ke bulan selalu didera kelaparan.

Data pada 2015 menunjukkan, masih ada 815 juta orang yang terancam kelaparan hebat dan 777 juta orang menderita kelangkaan pangan. Di Indonesia, menurut Kompas, berdasar siaran pers Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), masih ada 19,4 juta orang yang menderita kelaparan setiap hari. Jumlah tersebut adalah sepertiga dari 60 juta orang yang tercatat masih menderita kelaparan di Asia Tenggara.

Dengan demikian, muslim yang benar-benar niat dan melaksanakan puasa, ia akan selalu berusaha mengembangkan simpati dan empati kepada sesama. Ia juga akan selalu menyebarkan kedamaian dan etika-moral luhur yang lain. Jika ia bukan bagian dari mereka yang kelaparan, ia akan ikut ambil bagian untuk mencari jalan mengentaskan mereka yang kelaparan. Namun, jika di antara umat Islam kebetulan bagian dari mereka yang sedang kekurangan, ia tidak akan pernah berputus asa. Namun, ia selalu yakin, pertolongan Allah pasti akan datang.

Artikel ini telah dimuat rubrik Opini JawaPos, 29/6/2015

Sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/116/puasa-menajamkan-nurani-mengembangkan-empati

Oleh : Prof  Dr. H M. Ali Aziz,  M.Ag

PEMBAKAR SEMANGAT BUKAN PENGHAMBAT

www.radiohatsbali.com

 

فَقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفۡسَكَۚ وَحَرِّضِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأۡسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأۡسٗا وَأَشَدُّ تَنكِيلٗا ٨٤

Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(-Nya) (QS. An Nisa’ [04]:84).

 

            Untuk menjelaskan ayat ini, Anda harus mengaitkan dengan ayat sebelumnya, khususnya QS. An Nisa’ ayat 74: “Dan sungguh di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan perang). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata, "Sungguh Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” Yang disebut dalam ayat 74 ini adalah penduduk Madinah yang bersikap dingin, bahkan secara terang-terangan menyatakan enggan memenuhi ajakan Nabi SAW ke medan perang Badar. Maka ayat ini turun untuk mengingatkan Nabi SAW agar tidak terpengaruh dengan sikap pasip mereka dan agar tetap berangkat perang sekalipun sendirian.  

            Betapa berat tugas dan tanggungjawab Nabi SAW. Ia tidak boleh mundur selangkahpun atau kehilangan semangat hanya karena ulah para pengecut. Sebab, tugas kepemimpinan dibebankan hanya kepada Nabi, bukan pada pundak orang lain. Menurut Ar Razi, ayat ini menunjukkan keperkasaan Nabi SAW, sebab andaikan tidak perkasa, tentu Allah SWT tidak menyuruh berangkat perang sendirian.           

Nabi SAW juga dikenal sebagai tauladan dan pembakar semangat para sahabat. Anda tentu ingat ucapan Nabi SAW yang terkenal untuk menyemangati tentara perang Uhud, ”Jika seorang Rasul telah mengenakan pakaian perang, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah SWT menentukan siapa yang menang di antara dua pasukan.”

            Ayat di atas juga ada kaitannya dengan QS. Ali Imran ayat 173 yang diturunkan Allah setelah perang Uhud. Pada saat itu, Abu Sufyan, tokoh pasukan kafir menantang Nabi untuk perang kembali tahun berikutnya. ”Baiklah, kita akan bertemu di medan Badar tahun depan insya-Allah,” jawab Nabi. Sebelum perang, Abu Sufyan menyuruh Nu’aim bin Mas’ud agar menakut-nakuti umat Islam bahwa 1.000 tentaranya siap menggilas mereka. Provokasi itu dilakukan Nu’aim dengan imbalan 10 ekor unta. Sebagian tentara muslim terpengaruh dan benar-benar menolak mengikuti Nabi. Melihat spirit para sahabat menurun, Nabi SAW bangkit membakar semangat mereka, ”Walladzi nafsi biyadihi (demi Allah yang menguasai diriku), saya akan tetap berangkat perang walaupun sendirian”. Nabi memanggil 70 pasukan yang setia dan berangkat ke perang Badar dengan membaca hasbunallah wani’mal wakil(cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Pelindung Yang Terbaik).

Dalam Surat At Taubah ayat 40 disebutkan penyemangtan Nabi SAW kepada Abu Bakar r.a yang tinggal bersamanya di Gua Tsur selama 3 malam (1 Rabiul Awal tahun ke 53 dari kelahiran Nabi atau 24-09-622 M). Abu Bakar r.a ketakutan karena dari celah-celah gua, ia melihat kaki para algojo Mekah yang siap membunuh mereka berdua. Saat itulah, Nabi SAW menyemangati Abu Bakar r.a, “La tahzan innallaha ma’ana” (jangan cemas, sungguh Allah tetap bersama kita). 

Bagaimana cara Nabi SAW menyemangati 3.000 prajurit yang sedang membangun benteng dalam perang Khandaq melawan 10.000 pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan? Atas usul Salman Al Farisi, mualaf berkebangsaan Persia, Nabi memutuskan membuat parit (khandaq) memanjang di sebelah selatan Madinah dari ujung barat sampai ke timur. Dalam penggalian selama 6 hari (Syawal 5 H/627 M) tersebut, beberapa tentara melapor kepada Nabi adanya batu besar. Jawaban Nabi SAW sangat mengagetkan, “Ana naaazil” (saya sendiri yang akan memecah batu itu). Muhammad bin ‘Allan As Shiddiqy menyebut ucapan Nabi itu sebagai targhiiban lil muslimin (penyemangat untuk kaum muslimin).

Benar, berangkatlah Rasulullah dengan perut yang terikat selendang berisikan batu untuk menahan lapar, karena sudah tiga hari tidak makan apapun. “Blaaar.” Pecahlah batu itu atas pukulan Nabi. Pada pukulan pertama, ada cahaya dari arah kota Syam (Syiria). Pada pukulan kedua, cahaya memancar dari arah Persia, dan pada pukulan terakhir, ada sinar dari arah Yaman. Semua cahaya itu menandakan ketiga kota itu akan segera dikuasai umat Islam.

Jabir bin Abdillah r.a tidak tega melihat Nabi (60 tahun) kelaparan. Ia minta ijin untuk pulang sebentar. ”Apa ada makanan di rumah?.” Istrinya menjawab, ”Hanya sedikit gandum dan seekor kambing.” Jabir lalu menyembelih kambing itu dan menumbuk gandum untuk menjadi adonan roti. Jabir berlari dan membisikkan sesuatu di telinga Nabi, ”Wahai Rasulullah, tersedia sedikit makanan untuk tuan dan 1 atau 2 orang.” Nabi lalu memintanya agar memberitahu istrinya agar tidak menurunkan panci dan mematikan tungku sebelum ia datang. Ternyata, Nabi datang dengan seribu orang. “Mengapa kamu tidak memberitahu persiapan makanan kami yang terbatas?,” kata istri setengah marah kepada sang suami. Nabi SAW pergi ke dapur dan memercikkan sedikit ludah ke dalam panci, mengambil masakan itu dan menyuguhkan sendiri kepada para sahabat, sampai semuanya kenyang. Baru setelah itu, Nabi SAW menyuruh istri Jabir bin Abdillah r.a untuk membagikan makanan sisanya untuk semua kaum muslimin. Inilah mukjizat Nabi, sekaligus ketauladanan, kerendahan hati dan penyemangatannya untuk umatnya  (Disarikan dari HR Al Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a).

            Tahukah Anda, hanya 20 % ucapan orang yang membakar semangat. Sisanya (90%) mematikannya. Jika Anda memberi seseorang barang berharga, tapi ia tidak memiliki semangat, maka sisa-sialah pemberian itu. Sebaliknya, jika Anda tidak memiliki barang berharga untuk diberikan kepada anak Anda atau siapapun, Anda tidak perlu bersedih selama Anda mamberikan SEMANGAT kepadanya. 

 

Referensi: (1) Muhammad Hasan Al Hamshy, Qur’an Wa Bayan ‘Ma’a Asbabin Nuzul Lis Suyuthy, Darur Rasyid, Damaskus- Beirut, tt. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 5,Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 179 (3) M. Qureish Shihab, Al Misbah Vol 2, Penerbit Lenterera Hati, Jakarta, 2012, p. 643 (4) Ensiklopedie Islam (5) Majalah Aula No.2 Februari 1999, p. 46 (6) Ahmad Hadi, Persinggahan Para Malaikat, Penerbit Mizan, Bandung 1993, p. 25-33 (7) Moh. Ali Aziz, Bersiul di Tengah Badai, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, cet. I, 2015. (8) As Shiddiqy, Muhammad bin ‘Allan, Dalilul Falihin, Darul Kutub Al Ilmiyah, Bairut Libanon, tt.  (9) Al Nawawy, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf,  Riyadush Shalihin,  CV. Thoha Putra, Semarang, 1981.

H. Moh. Mufid, Lc., M.HI.,

Fikih Reklamasi

Beberapa minggu yang lalu, KPK berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kali ini, sasarannya adalah kader Parta Gerinda yang digadang-gadang akan menjadi rival Ahok di Pilkada Ibukota Jakarta 2017 nanti. Adalah M. Sanusi pengusaha sekaligus anggota DPRD DKI Jakarta ini terlibat kasus suap. Ia sebagai tersangka kasus suap PT Agung Podomoro Land terkait mega proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

Peristiwa ini, tentu mengagetkan publik. Bagaimana tidak, M. Sanusi yang lagi gencar berkampanye justru tersandung kasus korupsi. Ini sekaligus membuka mata publik, bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta memang masih “bermasalah”. Sementara itu, Ahok sebagai Gubernur tetap ngotot untuk melanjutkan megaproyek tersebut.

Reklamasi adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai. Dengan kata lain, reklamasi berarti “menyulap” lautan menjadi daratan (daratan rekayasa). Di negara-negara maju, reklamasi biasa dilakukan dalam rangka memperluas daratan, misalnya di Singapura, di Uni Emirat Arab, di Korea Selatan, di Rio Jeniro Brazil, di Amerika Serikat dan lainnya.

Di Indonesia, proyek reklamasi yang juga tak kalah kontroversinya adalahreklamasi pantai Losari di Makassar dan Teluk Benoa di Bali. Pertanyaanya, bagaimana proyek reklamasi tersebut dalam perspektif eco-syariah?

Eco-Syariah dan Fikih Reklamasi           

Secara sederhana, eco-syariah adalah norma-norma religius yang pro terhadap lingkungan hidup. Hifz al-Bi’ah adalah panduan epistemik dalam merumuskan fikih antropokosmis. Dalam konteks ini, proyek reklamasi laut tidak terlepas dari sisi negatif dan positif. Dalam bahasa fikih, sisi positif ini sering disebut dengan maslahat. Sebaliknya, sisi negatif disebut mafsadat. Dalam konteks ini pula minimal ada dua hal yang menjadi sorotan dalam setiap proyek reklamasi, yaitu aspek ekonomi dan aspek ekologi.

            Dari segi ekonomi, reklamasi ini akan menjadikan daratan baru sebagai perumahan “kelas elit” dan pusat komersil dengan desain arsitektur medioker yang akan menjadi ikon baru bagi Jakarta sebagai kota metropolitan. Di sisi lain, dari segi ekologi, reklamasi ini akan memberikan pengaruh signifikan terhadap tekanan lingkungan dan gangguan terhadap ekosistem laut.

            Untuk menghindari timbulnya mafsadat, yang dalam hal ini, bahaya kerusakan ekosistem laut, maka harus terlebih dahulu dilakukan uji kelayakan lingkungan (Amdal). Hal ini menjadi niscaya karena lingkungan laut akan mengalami degradasi secara signifikan dan mengganggu bagi keberlanjutan ekosistim laut. Keanekaragaman biota laut akan terancam dengan adanya daratan rekayasa tersebut.

            Oleh karena itu, reklamasi bukan hanya bermasalah, tetapi juga lebih menimbulkan dampak negatif. Misalnya, reklamasi tersebut akan menyebabkan naiknya air laut yang akan menambah banjir rob; sumur-sumur penduduk di sekitar pantai menjadi asin; terjadinya kontaminasi secara kimia terhadap air asin yang mengendap membuat bau menyengat; berdampak buruk bagi habitat mangrove. Lebih lanjut, menurut Walhi reklamasi Pulau G yang konsesinya dipegang PT. Muara Wisesa Samudera, akan merusak pipa kabel dan gas bawah laut yang menjadi suplai listrik Ibukota Jakarta.

            Dalam kaidah fikih, kondisi dimana adanya pertentangan antara maslahat dan mafsadat maka harus diutamakan untuk menghindari mafsadat. Dar’u al-mafasid muqaddam ala jalb al-masalih begitu dalam kaidah. Kaidah ini relevan dalam rangka menyikapi pro-kontra reklamasi Teluk Jakarta. Oleh sebab itu, sudah seharusnya meninjau ulang (moratorium) mega proyek tersebut. Apalagi, reklamasi telah dinyatakan tidak layak dan merusak lingkungan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Reklamasi dan Revitalisasi Teluk Jakarta.

Lebih dari itu, reklamasi justru akan merampas dan menghilangkan fishing ground (wilayah penangkapan) ikan para nelayan. Sebanyak 16.000 kepala keluarga nelayan terancam tergusur dari wilayah hidup dan kehilangan pekerjaannya. Sementara reklamasi hanya akan menguntungkan segelintir “kaum elit” saja, sementara dampaknya dapat dirasakan secara nyata bagi kaum kelas ekonomi menengah ke bawah. Hal ini jelas akan meminggirkan kepentingan kaum “alit” demi memuaskan hasrat para pengembang properti yang berkelas ekonomi elit.

Menuju Eco-Litercy

Proyek reklamasi, seharusnya tidak sekadar melihat nilai bisnisnya semata, melainkan aspek ekologis pun harus dipikirkan. Karena ekonomi dan ekologi adalah dua kenyataan dan praksis hidup yang menyatu menjadi sebuah budaya masyarakat karena kenyataan etimologis bahwa keduanya berakar pada kata yang sama oikos, rumah tangga, habitat, ekosistem. Inilah yang oleh Fritjof Capra disebut eco-literacy, melek/sadar lingkungan.

Itu sebabnya, dalam perspektif bioregionalisme menurut Capra, ekonomi yang dikembangkan adalah ekonomi hijau. Yakni, ekonomi yang menyatu dan didikte oleh ekologi. Karena suatu kegiatan ekonomi yang merusak dan bertentangan dengan ekosistem setempat bukanlah ekonomi. Di sini, ekologi sebagai guidence menuntut agar manusia menata hidupnya sebagai bagian yang tidak terpisah jaring kompleks sistem alam semesta. Karena itu, ekologi meniscayakan memilih hidup yang sesuai kehendak dan hukum alam.

Dalam konteks inilah, reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya lebih mementingkan aspek ekonomi ketimbang aspek ekologinya. Proyek tersebut, hanya akan menguntungkan segelintir kaum pemilik modal dan meminggirkan kepentingan kaum “alit” para nelayan yang menggantungkan nasibnya sebagai nelayan pesisir. Di sinilah diperlukan kesadaran kolektif masyarakat terhadap lingkungan demi keberlanjutan ekosistem laut.

 Penulis adalah H. Moh. Mufid, Lc., M.HI., Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Dr. Fahrur Ulum, S.Pd., MEI,

Rasionalisasi Tenaga Kerja & Ekonomi Islam

Oleh : Dr. Fahrur Ulum, S.Pd., MEI, Dosen FSH UIN Sunan Ampel Surabaya

Pertumbuhan ekonomi kita awal tahun ini hanya sebesar 4,79 persen. Hal ini berdampak pada maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama pada perusahaan pertambangan, khususnya minyak mentah dan batubara. Selanjutnya beberapa perusahaan elektronik seperti Toshiba dan Panasonic juga telah mem-PHK karyawannya. Bahkan perusahaan otomotif asal AS, Ford, telah hengkang dari Indonesia. Imbas PHK tersebut akan mendongkrak angka pengangguran. Menurut BPS, jumlah pengangguran terbuka pada September 2015 mencapai 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari total angkatan kerja. Sedangkan setengah pengangguran mencapai 9,74 juta orang.

Akar Masalah

Perlambatan ekonomi yang merupakan imbas krisis ekonomi global menjadi penyebab tingginya pengangguran. Namun hal itu bukan penyebab satu-satunya, liberalisasi ekonomi juga mendulang penyebab tingginya pengangguran. Liberalisasi ekonomi membuat pangan impor menggusur produk petani domestik sehingga pendapatan petani semakin kecil, kemudian ditambah biaya produksi yang semakin mahal karena pengurangan berbagai subsidi seperti pupuk dan BBM. Maka tidak mengherankan jika pada tahun 2015 jumlah petani di Indonesia sebanyak 37,7 juta (tahun 2010 mencapai 41,5 juta orang). Rupanya insentif petani untuk bekerja di sektor pertanian semakin tidak menarik. Nilai tukar petani (NTP) pada Januari 2016 hanya 102. Artinya, pendapatan petani hanya dua persen lebih tinggi dari biaya produksi dan biaya konsumsi yang mereka keluarkan. Kondisi ini memaksa sebagian petani meninggalkan usaha pertanian dan memilih usaha yang lain atau merantau ke kota.

Di sektor industri seperti tekstil, elektronika, dan besi baja, juga mempersoalkan tingginya arus barang impor dengan harga yang lebih murah. Penghapusan subsidi listrik semakin memberatkan biaya produksi. Sebenarnya pengusaha domestik bisa menggunakan   gas alam yang harganya lebih murah dibanding solar, namun sulit mereka dapatkan. Karena telah terikat kontrak jangka panjang, gas alam Indonesia lebih banyak dinikmati oleh industri di Jepang, Cina dan Korea Selatan. Barang-barang mereka kemudian masuk ke negara kita dengan tarif nol persen dan menang dalam persaingan pasar.

Pada sisi yang lain para buruh terus menuntut kenaikan upah akibat biaya hidup yang terus meningkat. Padahal pengusaha telah dibebani berbagai kewajiban seperti tanggungan iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, macam-macam pajak, berbagai pungutan resmi dan tidak resmi. Hal ini membuat daya saing industri domestik melemah dan terpaksa gulung tikar atau melakukan relokasi ke negara lain. PHK pun tak terhindarkan.

Selain permintaan tenaga kerja yang menyusut, masalah kualitas tenaga kerja juga menjadi persoalan di negara ini. Menurut data BPS, 67% pendidikan tenaga kerja saat ini hanya lulusan SMP ke bawah. Sedangkan lulusan SMA/SMK kurang dari 30%.

 

Tenaga Kerja Asing

Terkesan ironis karena pengangguran di negara ini cukup tinggi, namun tenaga kerja asing mulai membanjiri perusahaan-perusahaan trans nasional yang ada di negeri ini. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, hingga November 2015, tenaga kerja asing  mencapai 79 ribu orang, mayoritas tenaga kerja dari Cina. Meningkatnya tenaga kerja Cina ini seiring dengan meningkatnya aliran investasi dan pemberian utang Cina ke Indonesia. Biasanya, Cina meminta konsesi proyek dalam waktu panjang, proyek-proyek yang didanai harus memakai barang-barang dari Cina serta tenaga kerja proyek-proyek tersebut termasuk tenaga kerja kasar, sebagian diimpor dari Cina. Investasi yang dikucurkan oleh Cina biasanya selalu satu paket dengan tenaga ahli, peralatan serta tenaga kasarnya sekalian. Hal ini sedikit berbeda dengan pola investasi yang dilakukan oleh AS yang hanya memasukkan dana beserta tenaga ahlinya saja.

Sistem Ekonomi Islam

Fokus upaya menurunkan pengangguran biasanya bersifat agregat, bukan berupaya menyelesaikan masalah pengangguran per individu. Maka solusi yang ditempuh juga bersifat agregat. Pemerintah biasanya berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mendorong konsumsi, mempermudah investasi dan menggairahkan ekspor. Harapannya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja yang diserap akan semakin banyak. Pemerintah dikatakan berprestasi jika mampu menurunkan pengangguran dalam beberapa persen, tak peduli jika jumlah pengangguran yang tersisa masih jutaan orang jumlahnya.

Paradigma tersebut berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Dalam pandangan ekonomi Islam, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan kepada setiap warga negaranya dengan segenap daya upaya yang dimilkinya. Negara wajib menanggung rakyat yang lemah secara fisik seperti orang cacat, orang tua renta, termasuk wanita jika mereka tidak memiliki kerabat atau kerabatnya tidak sanggup menafkahi mereka. Negara juga wajib membantu mereka yang lemah secara hukum, yakni mereka yang mampu bekerja namun tidak mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib menyediakan anggaran yang berasal dari Baitul Mal untuk menyediakan pekerjaan kepada mereka sehingga mereka dapat bekerja secara mandiri.  Rasulullah saw bersabda yang artinya; “Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin “(HR al-Bukhari).

Dalam bingkai system ekonomi Islam, negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang dan perumahan) setiap rakyatnya, termasuk layanan pendidikan dan kesehatan juga digratiskan. Teknis pelaksanan dan kontrolnya bukanlah bersifat agregat, namun benar-benar diperhatikan satu per satu dari seluruh rakyat atau by name by addreas.  Dengan demikian pembiayaan layanan primer berupa keamanan, kesehatan, dan pendidikan tersebut tidak ditanggung oleh rakyat, termasuk pengusaha. Rakyat tidak perlu membayar keamanan dengan mahal, rakyat tidak perlu membayar pendidikan mahal untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik, serta rakyat tidak perlu menjadi anggota asuransi hanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Para pengusaha juga tidak perlu menanggung berbagai macam pajak yang berlaku permanen dan biaya asuransi sosial. Penentuan upah juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja, tidak dikenal istilah upah minimum nasional maupun regional atau upah mengikuti harga barang versi sosialis komunisme. Sistem keuangan pun tidak mengenal istilah bunga atau rente yang selama ini memberatkan para investor. Dengan demikian, iklim bisnis akan menjadi kondusif. Simultannya adalah pertumbuhan ekonomi secara riil dan mampu menanggulangi tingkat pengangguran yang diakibatkan oleh pemutusan kerja.

Lebih dari itu, dalam perspektif system ekonomi Islam, negara semestinya tidak terlibat dalam bentuk perjanjian ekonomi yang berpotensi merugikan negara seperti perjanjian-perjanjian yang mengarah pada liberalisasi ekonomi yang berdampak negative seperti dijabarkan di atas.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Dr. Fahrur Ulum, S.Pd., MEI,

Menuju Ekonomi yang Berkeadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

 

isu ekonomi tahun depan (2017) masih berputar pada persoalan pertumbuhan, pajak dan pembangunan infrastruktur. Pertumbuhan dijadikan indikator kesejahteraan dan solusi bagi setiap krisis ekonomi. Maka tidak mengherankan jika fraksi-fraksi di DPR sibuk memperbincangkan pertumbuhan ekonomi kita pada kisaran 5,3 hingga 5,9 persen pada tahun 2017 (Republika.co.id, 26 Mei 2016).

Pertumbuhan ini biasanya dilihat pada dua dimensi besar yaitu titik tekan pertumbuhan dan pengukuran pertumbuhan. Logika yang dibangun dari titik tekan pertumbuhan adalah asumsi bahwa “more is better”. Sedangkan pengukuran pertumbuhan adalah per capita GNP. Jika per capita income yang didapatkan dari total real GNP yang dibagi dengan jumlah penduduk itu tinggi, maka pertumbuhan ekonomi tinggi dan disinyalir kesejahteraan juga tinggi. Benarkah demikian?

Pertumbuhan versus Pemerataan Kesejahteraan

Dua dimensi pertumbuhan tersebut jelas memiliki kekurangan karena belum tentu lebih banyak itu lebih baik. Bisa saja banyak itu tidak menjadikan lebih baik ketika yang banyak itu tidak menambah kebaikan bagi individu maupun komunitas. Misalnya yang banyak itu adalah barang-barang yang akan merusak moral seperti minuman keras, jasa prostitusi dan sebagainya. Selanjutnya penghitungan per capita GNP juga seringkali menipu, karena bisa jadi pertumbuhan ekonomi itu ditopang oleh sekelompok kecil bagian masyarakat.

Selanjutnya  tidak diperhatikan pula apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan ekonomi riil seperti pengerjaan proyek pembangunan dan jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil dan keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dan lainnya yang cenderung menghasilkan pertumbuhan semu.

Semestinya sektor finansial tidak dimasukkan dalam perhitungan pertumbuhan. Pertumbuhan diakibatkan hanya dari sektor kegiatan ekonomi yang nyata dengan memastikan bahwa uang terus beredar sebagai alat tukar. Uang tidak boleh dijadikan komoditas dengan ditarik bunganya. Uang dilarang sebagai alat judi dan spekulasi, hingga membuat uang hanya bertemu dengan uang, bukan dengan barang dan jasa. Jika demikian, maka pertumbuhan ini nyata dan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara riil. Pertumbuhan alami akan terjadi seiring dengan bertambahnya aktifitas ekonomi secara riil dan seiring dengan perkembangan teknologi untuk menghasilkan barang-barang produksi maupun jasa.

Jadi sebenarnya pertumbuhan ekonomi bukan persoalan utama dalam sistem ekonomi karena sifatnya yang alamiah. Namun persoalan ekonomi terletak pada upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

 

Menciptakan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Choudhury  (1988) mengusulkan bahwa ekonomi harus didasarkan atas prinsip; tauhid, brotherhood, work and productivity, distributive equity, cooperation, organization/islamic institution. Perekonomian dalam konteks ini menekankan pada distribusi yang didukung oleh peran pemerintah agar tercipta pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Syed Haider Naqvi (1985) mengusulkan prinsip al-adl wa al-ih}san, yaitu etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi. Selanjutnya perlu egalitarianisme dan negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan pasar dan penyedia kebutuhan dasar, tetapi juga partisipan aktif dalam produksi dan distribusi.

Penciptaan kesejahteraan dan keadilan sosial bisa dilakukan dengan penekanan pada distribusi kekayaan di masyarakat. Mekanisme distribusi kekayaan ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri, namun terkait dengan konsep yang lain yaitu konsep kepemilikan. Oleh karena untuk menciptakan  kesejahteraan dan keadilan sosial harus diurai dari persoalan besar dalam sistem ekonomi, meliputi konsep kepemilikan dan pengelolaannya serta distribusi kekayaan di masyarakat.

Pengelolaan kepemilikan harus diikat dengan berbagai hukum yang menyangkut masalah pertanian, jual beli dan aktifitas produksi. Dalam masalah pertanian, misalnya, seseorang harus senantiasa terikat dengan pemanfaatan lahan pertaniannya. Jika lahan tersebut dibiarkan kosong selama tiga tahun, maka ia sudah tidak berhak lagi atas tanah tersebut sesuai dengan pendapat Umar ibn al-Khaththab yang didiamkan oleh sahabat-sahabat yang lain sehingga menjadi ijma’ sahabat. Umar r.a. menyampaikan;

“Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya setelah dibiarkan selama tiga tahun.”

            Kebijakan ini dengan sendirinya akan menghindari munculnya sistem zamindari atau feodalisme yang akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, mubadzir dan merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu ekonomi Islam menawarkan pengelolaan lahan pertanian dengan cara-cara kerjasama seperti muzara’ah dan musaqat.

Pada persoalan jual beli, seseorang harus menempatkan etika bisnis dengan baik dan menghindari riba. Seorang penjual dan pembeli harus sama-sama ridha. Seorang penjual tidak boleh menyembunyikan cacat, berbuat curang dan melakukan penimbunan. Sedangkan pada persoalan produksi, biasanya seseorang berhadapan dengan faktor produksi yaitu alam ( tanah), tenaga,  modal dan skill. Oleh karena itu seseorang akan senantiasa berhubungan dengan pihak lain, sehingga ia harus terikat dengan berbagai peraturan seperti syari’at shirkah, ijārah dan jual beli.

Selain pembatasan pengelolaan dan pengembangan kepemilikan melalui hukum-hukum syara’, juga dibatasi pula dengan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial sehingga harus memperhatikan dan mensupply orang-orang yang mempunyai keterbatasan faktor produksi sehingga tercipta keharmonisan di masyarakat, yaitu diatur dengan hukum-hukum zakat, infaq, s}adaqah dan sebagainya. Selain pengelolaan kepemilikan individu, harta benda yang terkategori kepemilikan umum juga harus dikelola dengan baik. Harta milik umum yang pemanfaatannya mudah,  maka siapa saja dapat memanfaatkannya secara langsung, misalnya memanfatkan sumur, mata air dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk (keperluan) hewan serta ternak-ternaknya. Sedangkan harta milik umum yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung, seperti minyak bumi, gas dan barang-barang tambang, maka negara mengambil alih penguasaan eksploitasinya. Negara mewakili rakyat dan mendistribusikannya demi kemaslahatan seluruh warga negara.

Lebih jauh, harus dilarang dengan tegas, diantaranya; perjudian, riba, penipuan ( al-ghabn ), menyembunyikan cacat ( tadlis), penimbunan    ( al-kanzu), dan pematokan harga ( tas’ir). Dengan ditetapkannya pengelolaan kepemilikan yang dilarang tersebut, maka akan menghindari perselisihan di masyarakat, menghindari penumpukan kekayaan pada orang-orang tertentu serta menghindari eksploitasi sesama manusia.

Selanjutnya distribusi ekonomi di masyarakat dapat dilakukan dengan mekanisme pasar dan non pasar. Mekanisme pasar pun dibatasi dengan larangan praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), pematokan harga (al-tash’îr), penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs),  penipuan pada harga (al-ghabn al-fâh}isy),

Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena itulah harus disediakan mekanisme  kedua, yaitu mekanisme nonpasar diantaranya adalah zakat, infak dan sedekah, hibah, hadiah, dan wasiat, termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa melakukan iqthâ’. Dengan adanya dua mekanisme tersebut, maka dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga Negara dan sekaligus menciptakan pemerataan ekonomi. Negara berperan besar dalam distribusi kekayaan agar berjalan baik dan rakyat terpenuhi kebutuhan pokok (al-h}ajat al-asasiyah), baik kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan perumahan), maupun kebutuhan dasar masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan) secara murah dan berkualitas.

Wallahu a’lam

bottom of page