top of page

Oleh : Dr Biyanto, Dosen Fak. Ushuludiin & Filsafat, UINSA Surabaya

Berharap Kemenag Benar-Benar Suci

KEMENTERIAN Agama (Kemenag) genap berusia 70 tahun pada 3 Januari 2016. Dalam usia yang sangat matang itu, Kemenag semestinya berbenah. Moto ”Ikhlas Beramal” harus menjadi spirit dalam memberikan pelayanan kepada umat. Kemenag juga harus benarbenar menunjukkan diri sebagai departemen ”suci”. Harapan tersebut penting karena publik mulai menyoal integritas Kemenag.


Integritas departemen ”suci” dipertanyakan seiring dengan munculnya kasus korupsi di Kemenag. Di antaranya adalah kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran. Bayangkan, pencetakan kitab suci Alquran ternyata tidak luput dari perilaku koruptif. Kasus lain yang juga menyita perhatian publik adalah gratifikasi penerimaan honor jasa kepenghuluan di kantor urusan agama (KUA).


Puncaknya tentu saja kasus korupsi haji yang melibatkan mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA). Bahkan, SDA ditetapkan sebagai tersangka saat masih aktif menjabat Menag. Dalam lanjutan sidang kasus korupsi haji pada Rabu (23/12), SDA dinyatakan bersalah dan dituntut sebelas tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

SDA semestinya banyak belajar pada kasus yang dialami mantan Menag Said Agil Husin Al Munawar yang menghadapi tuduhan korupsi dana abadi umat (DAU) dan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Dalam persidangan yang digelar pada 2005, Said Agil dinyatakan bersalah dan diganjar lima tahun penjara. Beberapa kasus korupsi itu menunjukkan potret buram wajah Kemenag.

Pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji memang sangat rawan diselewengkan. Terutama dana yang bersumber dari bunga setoran calon jamaah haji di bank-bank mitra Kemenag. Penyelewengan dana ibadah haji juga berpotensi terjadi pada pengadaan barang dan jasa seperti pakaian batik, tas, buku tuntunan ibadah, pemondokan, akomodasi, transportasi, serta katering.


Karena pejabatnya sering tersandung kasus korupsi, integritas Kemenag terus disorot. Padahal, KPK telah memberikan peringatan kepada Kemenag. Berdasar hasil survei integritas yang dilakukan KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan di peringkat paling buncit. Survei dilakukan terhadap 98 instansi, meliputi 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Hasil survei menunjukkan bahwa indeks integritas Kemenag hanya 5,37, jauh di bawah integritas pusat yang mencapai 7,07.


Dengan nilai integritas yang rendah itu, artinya kasus korupsi masih banyak terjadi di Kemenag. Bukan hanya Kemenag tingkat pusat dan daerah, di level kecamatan pun praktik gratifikasi dengan mudah dapat dijumpai. Indikatornya antara lain adalah besaran biaya administrasi pernikahan di KUA yang tidak pernah menentu. Apalagi, penerimaan honor jasa kepenghuluan ternyata tidak masuk ke kas KUA, tapi menjadi sumber pendapatan penghulu.

Dana setoran calon jamaah haji yang melimpah juga menjadikan Kemenag sorotan publik. Apalagi jika menengok biaya haji yang ditetapkan pemerintah ternyata paling tinggi dibanding negara lain. Padahal, pelayanan yang diberikan pemerintah masih jauh dari memuaskan. Dampaknya, banyak keluhan yang dirasakan jamaah. Untung, jamaah haji tergolong penyabar dan nrimo ing pandum. Pelayanan yang ala kadarnya selama proses ibadah haji umum dianggap ujian.


Kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran,gratifikasijasakepenghuluan di KUA, penyelewengan dana ibadah haji, dan hasil survei integritas KPK jelas telah mencoreng institusi Kemenag. Padahal, Kemenag diharapkan menjadi benteng dari kebobrokan moral bangsa. Sangat disayangkan, kasus korupsi dengan berbagai ekspresinya justru terjadi di Kemenag. Tidak mengherankan jika perspektif publik pada Kemenag berubah.

Pegawai Kemenag yang setiap hari mengurusi agama dianggap tidak mampu menjadi agen pemberantasan korupsi. Pertanyaannya,mengapaKemenagyang umumnya diisi orang yang berlatar belakang pendidikan agama justru terlibat kasus korupsi? Jawabnya, sangat mungkin oknum yang terlibat itu belum memahami kriteria tindakan yang bisa dikategorikan korupsi. Apalagi, modus korupsi ternyata sangat bervariasi. Ekspresi korupsi pun mewujud dalam banyak wajah ( multiface).


Realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat menunjukkan betapa praktik korupsi telah disamarkan dengan banyak istilah. Misalnya, masyarakat mengenal istilah uang administrasi, uang tip, angpao, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang makan, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja, uang tahu sama tahu, dan uang lelah. Berbagai istilah di atas merupakan bagian dari ekspresi korupsi.

Publik jelas berharap keluarga besar Kemenag terus belajar pada kasus-kasus korupsi yang selama ini terjadi. Sebagai nakhoda departemen ”suci”, Menag Lukman Hakim Saifuddin yang berlatar belakang politikus-santri modern diharapkan bisa mewujudkan integritas di lingkungan Kemenag. Jika budaya berintegritas itu melekat dalam diri setiap pegawai dan pejabatnya, pada saatnya publik akan menyaksikan wajah Kemenag benar-benar suci.

Artikel ini sudah dimuat di Opini Jawa Pos, 4/1/2016

Oleh : Oleh : Dr. Fahrur Ulum, MEI

Memetakan Islamic Law di Era Kontemporer

Oleh : Dr. Fahrur Ulum, MEI

Dosen FSH, UINSA Surabaya

Secara literal, istilah Islamic Law umumnya mengacu pada term yang berbeda, yaitu: fiqh, shari>‘ah, qa>nu>n dan ‘urf. Kadang mahasiswa sering rancu dengan relasi istilah-istilah tersebut dan perlu mendapatkan penjelasan yang cukup.

Fiqh merupakan representasi dari bagian ‘cognitive’ hukum Islam, sedangkan shari>‘ah merepresentasikan dimensi‘heavenly’ hukum Islam. Maka dari itu, -meminjam pengertian dari Jasser Auda (2008:57)--istilah faqih ditujukan kepada manusia yang memiliki understanding (فَهْمٌ), perception (تَصَوُّرٌ), cognition (إدْرَاكْ); dan tidak boleh ditujukan kepada Allah. Di sisi lain, istilah al-Sha>ri‘ yang bermakna ‘The Legislator’ ditujukan kepada Allah dan tidak boleh ditujukan kepada manusia, kecuali kepada Nabi, ketika berperan untuk menyampaikan wahyu dari Allah. Sementara itu kata qa>nu>n merupakan bahasa Persi yang di-arab-kan dan semenjak abad ke-19, istilah qa>nu>n bermakna hukum-hukum yang tertulis. Sedangkan ‘urf bermakna kebiasaan yang bagus yang disetujui oleh suatu komunitas (masyarakat).

 

Relasi klasik antara fiqh, shari>‘ah, qa>nu>n dan ‘urf

Secara klasik, relasi antara fiqh, shari>‘ah, qa>nu>n dan ‘urf  sebagai berikut; shari>‘ah memasukkan al-Qur’a>n dan al-Sunnah sebagai dalil, selanjutnya fiqh dideduksi dari kedua sumber tersebut. ‘Urfhanya mempengaruhi fiqhdalam beberapa kasus saja, sehingga  bisa digambarkan dengan adanya sedikit kontak (slight contact). Adapun qa>nu>n merupakan hukum tertulis yang bisa jadi berasal dari fiqh, ‘urfdan sumber lainnya yang memungkinkan terjadinya persinggungan (intersection).

Kekaburan garis (blurring the line) antara fiqh dan shari‘ah membuka peluang terjadinya klaim ‘divinity’ (ke-Ilahi-an) atau ‘sanctity’ (kesucian) terhadap hasil ijtihad manusia. Bahkan secara historis, klaim tersebut membawa pada dua fenomena serius, yaitu: tuduhan bid‘ah (heresy) serta penolakan terhadap pembaharuan hukum Islam (renewal of Islamic law). Misalnya konflik kekerasan antara kelompok Ash‘ariyyah dan Mu‘tazilah, Sha>fi‘iyyah dan H{ana>fiyyah, Sunni dan Shia, bahkan klaim bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.

Secara historis, proses kemunduran keilmuan dan hukum Islam ditandai jatuhnya Baghdad oleh Tatarians pada tahun 656 H. Setelah itu, para ulama’ mulai mengembangkan ‘a script in the school’. Bahkan script ini secara praktis lebih diutamakan dibanding dengan original scripts, yaitu al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Para ahli fiqh pada era kemunduran ini tidak diperkenankan untuk melakukan ijtihad, kecuali ketika mereka tidak menemukan suatu pendapat dalam madhhab-nya (terkait suatu kasus tertentu). Jadi, mereka sibuk meringkas kitab-kitab (fiqh) terdahulu hingga pada akhirnya muncul slogan yang dikenal dengan ‘door of ijtihad was closed’. Pada saat itu, logika hukum dibangun pada lima dasar secara patent, yaitu: a) fundamental sources/scripts; b) script-based linguistic evidences; c) script-based rational evidences; d) critical analysis terhadap rulings dan legal capacities. Ekspresi al-Qur’a>n bersifat general (عَامْ), sedangkan ekspresi al-Sunnah bersifat specific (خَاصْ) terkait topic yang sama. Jika h}adi>th yang mengimplikasikan suatu hukum tidak berkaitan dengan al-Qur’a>n, maka seluruh madhhab fiqh menerima h}adi>th tersebut sebagai legislation, dengan syarat isi h}adi>th tidak tergolong sesuatu yang dikhususkan bagi Nabi, yang meliputi dua kategori yaitu: perbuatan yang memang eksklusif bagi Nabi saja, serta perbuatan yang berkaitan dengan kebiasaan sebagai ‘man living in seventh century’s Arabia’.

Ketika para ahli fiqh berbicara tentang dalil al-Qur’a>n dan al-Sunnah, sebenarnya yang mereka maksudkan adalah keputusan hukum (ruling) yang digali dari ekspresi suatu ayat atau pun h}adi>th berdasarkan salah satu kategori ekspresi bahasa, yaitu; clarity (وُضُوْحٌ), implication  (دِلاَلَةْ) dan scope (شُمُولْ). Sebenarnya klasifikasi ekspresi berdasarkan clear dan unclear merupakan tindakan sewenang-wenang (arbitrary) karena pembedaan antara level muh}kam, nas}s} dan z}a>hir tergantung pada specification (تَخْصِيْصٌ),  interpretation (تَأْوِيلٌ) dan abrogation (نَسْخُ) yang dilakukan oleh para ahli fiqih (jurists). Contoh implikasi dari مُخَالَفَةْمَفْهُومْdapat dilihat pada kasus terkait Surat al-Nisa>’: 25 tentang masalah pernikahan.

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

         

Penyematan sifat (attribute) pada wanita yang akan dinikahi (yaitu الْمُؤْمِنَاتِ) menunjukkan bahwa yang boleh dinikahi adalah wanita muslimah; berdasarkan metode مُخَالَفَةْمَفْهُومْ, maka al-Sha>fi‘i> melarang pernikahan dengan non-muslimah (non believers). Adapun madhhab H}anafi> yang tidak menggunakan metode مُخَالَفَةْمَفْهُومْ, mempebolehkan seorang muslim menikah dengan wanita muslimah maupun non-muslimah. Contoh lain yang dapat diajukan adalah tentang kewajiban zakat binatang ternak yang dibatasi dengan jumlah tertentu. Misalnya: nis}a>b zakat unta adalah 5, sapi 30, dan kambing 40 ekor. Dengan menggunakan metode (مُخَالَفَةْمَفْهُومْ), jika kurang dari ketentuan jumlah nis}a>b di atas, zakat ternak tidak wajib dizakati. Dalam hal ini, perlu mengacu pada maqa>s}id dari zakat. Dengan demikian, orang yang memiliki hewan ternak tersebut dapat zakat kapan saja – tanpa harus menunggu jumlah ternaknya mencapai nis}a>b – sehingga memudahkan dia untuk memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan; apalagi pada masa-masa paceklik / krisis pangan.    

 

Teori Hukum Islam Kontemporer

            Awal abad 20 M para ulama’ dan mufti menyadari bahwa fatwa-fatwa baru sangat dibutuhkan, sedangkan koleksi-koleksi historis pendapat masing-masing madhhab fiqh tradisional tidak mencukupi untuk menyelesaikan problem-problem modern. Akhirnya, institusi-institusi Islam yang berpengaruh menilai bahwa reformasi teori hukum Islam adalah suatu keniscayaan. Klasifikasi teori hukum Islam kontemporer tidak lagi melulu pada madhhab Sha>fi‘i>, H}anbali>, Ja‘fari>, dan sebagainya. Sekalipun, masih ada pembagian secara umum antara madhhab Sunni, Shia dan Iba>di>. Selain itu kebanyakan ulama’ kontemporer lebih menggunakan madhhab fiqh tradisional sebagai ‘supporting arguments’ daripada sebagai ‘original authorities’. Jadi, setidaknya telah muncul tipologi baru tentang teori hukum Islam, yang merepresentasikan landscape (jangkauan) fiqh yang lebih komprehensif dibandingkan klasifikasi madhha>hib tradisional. Dalam tataran itu Jasser Auda (2008:253) menyimpulkan bahwa klasifikasi tersebut kebanyakan masih berputar disekitar ‘classic’ three-class typology; fundamentalism, modernism dan seculerism. Oleh karena itu diusulkan adanya pergeseran dalam ‘level of authority’ dari kategorisasi biner yang berupa valid/invalid evidences, menjadi a multi-level ‘spectrum’ of validity of evidences and sources. Sources dalam teori hukum Islam masa kini adalah ayat-ayat al-Qur’a>n, h}adi>th nabawi>, madhhab fiqh tradisional, mas}a>lih}, rational arguments dan modern international declarations of rights. Sedangkan tendensi utama dalam teori hukum Islam yang beraneka-ragam dapat diidentifikasikan menjadi 3 kecenderungan, yaitu: tradisionalism, modernism dan postmodernism. Secara implikatif, ijtihad tidak boleh digambarkan sebagai perwujudan perintah Tuhan (embodying ‘God’s commands), walaupun ijtihad tersebut berdasarkan pada Ijma> maupun Qiya>s. Apalagi hasil ijtihad seringkali dimasukkan ke dalam 'revealed knowledge', meskipun definisi dan validitas metode-metode ijtihad masih diliputi oleh opini yang berbeda-beda secara luas.

Selanjutnya Ijma>‘ semestinya ditempatkan sebagai sebuah mekanisme konsultasi untuk membuat suatu keputusan berdasarkan multi-partisipan (multiple-participant decision making). Dengan demikian prinsip-prinsip dalam ijma‘ pada masa kini dapat difungsikan sebagai mekanisme untuk membuat fatwa kolektif, khususnya dengan adanya tekhnologi modern dan komunikasi yang instan di seluruh dunia. Ijma juga bisa dikembangkan fungsinya menjadi bentuk partisipasi masyarakat dalam urusan kenegaraan (mechanism for making collective fatwa).

         

Terakhir, untuk menghindari ijtihadi yang melibatkan beberapa orang menganggap diri mereka telah 'berbicara atas nama Tuhan, maka diperlukan The Validators (اَلْمُصَوِّبَةْ) sehingga dapat membuat kejelasan untuk membedakan antara ide-ide manusia dengan nas}s}. Pendekatan system pada hukum Islam, memerlukan pandangan terhadap hukum Islam sebagai 'system'. Oleh karena itu, penerapan fitur 'cognitive nature of system' akan memandu pada konklusi yang identik dengan al-Mus}awwibah, yaitu hukum (rulings) adalah apa yang dinilai oleh ahli fiqih sebagai yang paling mungkin benar, dan perbedaan pendapat-pendapat terkait hukum, seluruhnya merupakan ekspresi-ekspresi yang sah (valid) terhadap kebenaran dan seluruh pendapat tersebut adalah benar.

          Fiqh dalam era kontemporer bergeser dari bidang 'revealed knowledge' menjadi 'human cognition of that revealed knowledge'. Oleh karena itu, perbedaan yang jelas perlu diajukan untuk membedakan antara shari>‘ah dan fiqh sehingga tidak ada pendapat fiqh (praktis) yang memiliki kualifikasi untuk menjadi 'matter of belief', tanpa menghiraukan pertimbangan otentitas sumber (ثُبُوتْ), penunjukan lafal (دَلاَلَة), ijma>‘ atupun qiya>s.

          Selanjutnya persinggungan antara fiqh dengan ‘urf  seharusnya dipahami pada tataran yang lebih dalam (a level deeper)  dibandingkan sekedar 'consideration' pada tataran praktis. Fiqh secara praktis mengakomodasi‘urf yang memenuhi persyaratan-persyaratan maqa>s}id, walaupun seandainya ‘urf  tersebut berbeda dengan implikasi lafal (الدِّلاَلَة). Baik ‘urf  maupun fiqh harus sama-sama memiliki kontribusi terhadap qa>nun, yang memberikan kebebasan kepada para ahli fiqih untuk mengkonversi kebiasaan‘urfi>  dan perundangn-undangan fiqhi> menjadi anggaran dasar (statutes) yang paling sesuai dengan masyarakat dan kebutuhannya. Dengan demikian seseorang tidak harus mengcopy-paste perundangan-undangan fiqhi> atau ketentuan-ketentuan‘urfi> secara verbatim ke dalam hukum Islam.

Wallahu a’lam.

Oleh : Oleh : Dr. Fahrur Ulum, MEI

Refleksi Hari Ibu ; peran Ibu, antara ruang domestik dan ruang publik

Hj.Siti Azizah S.Ag M.Si

Dosen Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Setiap tanggal 22 Desember bangsa Indonesia memperingati hari Ibu , sejarah Hari Ibu sendiri diawali dari adanya pertemuan para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember1928 di Yogyakarta yang bertujuan untuk menyatukan pikiran dalam berjuang menuju kemerdekaan dan memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia . Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kita kenal sekarang dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember melalui dekrit presiden Soekarno No 316 tahun 1959 dan dirayakan secara nasional setiap tahun.

Momentum Hari Ibu kita jadikan sebagai refleksi tentang peran perempuan dalam keluarga dan ruang publik. Pada dasawarsa terakhir ini dalam komunitas dan sektor tertentu perempuan telah mendapatkan tempat yang berarti di tengah masyarakat, tetapi secara makro perempuan masih berhadapan dengan berbagai masalah. Adanya persepsi tentang peran ganda seorang perempuan, walaupun dia bekerja di sector public tetapi tetap dituntut untuk menyediakan waktu di sector domestik yaitu peran sebagai ibu, sebagai isteri, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya tetap dibebankan kepada kaum perempuan.

Munculnya peran ganda perempuan sebenarnya bermula dari adanya pembagian kerja secara seksual yang mana peran perempuan pada sektor domestik sedangkan laki-laki pada sektor publik. Ketika perempuan mulai masuk ke sector publik maka muncullah peran ganda perempuan dengan segala permasalahannya, hal ini disebabkan karena walaupun perempuan telah masuk dalam dunia publik ia masih tetap mempunyai tanggung jawab penuh di sektor domestik. Jadi walaupun mereka bekerja di luar rumah , tetapi tugas-tugas rumah tangga tetap di pegang isteri, seorang suami dianggap tabu kalau harus mencuci, memasak ataupun mengasuh anak karena dianggap pekerjaan tersebut adalah pekerjaan perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam ruang publik merupakan peran ganda yang bisa juga berarti beban ganda, seringkali dikatakan bahwa peran ganda dapat diatasi dengan proses pembagian kerja di sektor domestik antara suami dan isteri. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah kita bisa dengan mudah dapat melakukan proses domestifikasi terhadap laki-laki karena ini akan berbenturan dengan budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat yaitu budaya patriakhi. Persoalan ini menurut Abdullah tidak sesederhana itu karena yang harus ditaklukkan dalam pengurangan beban perempuan tidak hanya laki-laki, tetapi juga keluarga luas dan masyarakat secara umum yang telah menerima pembagian peran berdasarkan gender sebagai realitas obyektif. Keterlibatan laki-laki dalam bidang publik dan perempuan dalam bidang domestik merupakan realitas obyektif yang telah diterima sebagai sesuatu yang baku. Usaha mengubah semua itu merupakan usaha mendekonstruksi bangunan sosial budaya yang kemudian membutuhkan kesadaran di dalam rekonstruksi obyektif yang baru. ( Irwin, Abdullah, 2001, 198). Dan tentunya perlu waktu yang panjang untuk merekonstruksi budaya tersebut dan juga harus ada kesadaran dari kaum laki-laki bahwa dalam keluarga antara suami dan isteri adalah mitra sejajar bukan hubungan secara hierarkis.

Secara biologis perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang berbeda, perbedaan itu menghasilkan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya dan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap suami. Namun pada tataran realitas ternyata perempuan bukanlah makhluk yang lemah , ketika mereka harus menjalani dua pekerjaan secara sekaligus yaitu di sector publik dan domestik, tentunya mereka harus mempunyai tenaga yang ekstra kuat yang belum tentu dapat dilakukan oleh laki-laki, hampir 24   jam waktu mereka curahkan untuk menjalani dua pekerjaan tersebut. Seperti asumsi yang berkembang di era sekarang ini yang mengatakan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang mampu menjadi superwomen yaitu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dapat mengisi ruang publik dan domestik secara sempurna. Menjadi sangat tidak adil ketika perempuan harus menjalankan kedua peran tersebut secara sekaligus, sedangkan laki-laki kenapa tidak dituntut untuk memerankan peran yang sama seperti tuntutan terhadap perempuan?. Ketika kita menuntut hal yang sama terhadap laki-laki tentunya tidak dapat dilakukan dengan mudah dan perlu waktu yang cukup banyak untuk dapat merealisasikannya karena hal ini menyangkut budaya yang ada yang telah mengakar di tengah masyarakat.

Proses marginalisasi terhadap perempuan juga sangat dipengaruhi oleh institusi keluarga, sekolah, media massa. Dalam pendidikan tingkat dasar pada waktu dulu saja, kita telah menemukan banyak ketimpangan gender, entah di sengaja atau tidak.   Hal ini tercermin dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang sering memberikan ilustrasi ketimpangan gender, seperti “Budi membantu ayah di sawah, sedangkan Wati membantu ibu di dapur”. Ayah pergi ke kantor dan Ibu pergi ke Pasar. Pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sebutkan bahwa tugas Ayah adalah mencari nafkah dan ibu mengurus rumah tangga. Secara implisit, pelajaran tersebut menyiratkan pesan perbedaan gender yang sangat mendasar antara laki-laki dan wanita dalam relitas sosial.

Ketimpangan gender sesungguhnya ditegaskan secara terus menerus oleh struktur sosial yang patriarkal. Wanita yang baik cenderung harus “mengalah , manut, nrimo dan pasrah” kepada suami dalam suatu struktur interaksi dalam keluarga. Istri yang yang sempurna seringkali digambarkan sebagai isteri yang selalu melayani dan mengabdi kepada suami nya, mengurus rumah tangga serta anak-anaknya. Ketika anak melakukan kesalahan maka yang seringkali disalahkan adalah ibunya yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Kegiatan publik bukanlah dunia perempuan, dunia perempuan tetap dalam rumah tangga sehingga menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Di moment peringatan hari ibu ini , kita konstruksikan kembali bagaimana idealnya seorang perempuan atau ibu, kita perlu memberikan apresiasi kepada kaum ibu dan mendudukkan  mereka sebagai makhluk Tuhan yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Dari kaum ibulah lahir generasi penerus bangsa dan kesuksesan seorang suami dalam karier juga ditunjang oleh peran seorang isteri. Peran seorang perempuan tentu sangat penting dalam keluarga, mereka sebagai madrasatul ‘ula, karena pendidikan anak, pertama didapat dari seorang ibu dari dalam kandungan sampai anak dilahirkan dan tumbuh kembang menjadi dewasa, namun   dalam mendidik anak tidak hanya tugas dan tanggung jawab ibu saja, tetapi dalam keluarga ayahpun mempunyai kewajiban yang sama dalam pendidikan anak. Tidak semestinya lagi peran domestik harus di kerjakan penuh oleh perempuan, sebagai makhluk Tuhan perempuan pun mempunyai hak yang sama di ruang publik, mereka berhak untuk meraih pendidikan yang tinggi, mereka berhak untuk mengembangkan diri dan mendapatkan pekerjaan di sector publik sama seperti laki-laki. Perempuan bukanlah the second people, karena secara kapabilitas perempuan tidak kalah dengan laki-laki.

Di zaman sekarang ini dengan adanya gerakan gender seharusnya ketimpangan gender tidak terjadi lagi, perempuan tidak harus selalu dinomerduakan. Perempuan dan laki-laki mempunyai potensi dan peluang yang sama dalam sektor publik dan sebagai mitra sejajar, potensi perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki harus dimaknai sebagai kebersamaan dalam mengatur kehidupan bersama. Dalam Harmona Daulay dikatakan bahwa prinsip pembagian kerja secara seimbang adalah suatu prinsip adanya suatu hubungan yang egaliter antara suami dan isteri, pola pembagian kerja seperti ini tidak membedakan gender, tetapi tergantung pada kebutuhan dan tersedianya waktu yang tercurahkan. Pada hubungan ini proses kerjasama dan tolong menolong demikian kuatnya sehingga membentuk suatu tim yang kompak sehingga akan terjadi keharmonisan dan kesetaraan gender.

Nita Yalina, S.Kom.,M.MT

Dosen Fakultas Saintek, UINSA

Siasat Melawan “Penjajah Baru” Teknologi

Nita Yalina, S.Kom.,M.MT

Dosen Fakultas Saintek, UINSA

 “Kita mencintai perdamaian, tetapi kita lebih mencintai KEMERDEKAAN”.
[Soekarno-Pidato HUT Proklamasi, 1946]

Slogan Soekarno pada HUT Proklamasi 1946 tersebut mengingatkan kembali betapa perjuangan atas kemerdekaan amatlah berarti bahkan lebih berarti daripada sekedar mendapatkan perdamaian. Tanggal 17 Agustus yang baru saja kita lewati adalah tanggal yang kita peringati sebagai hari kemerdekaan. Di hari itu merupakan refleksi atas keberhasilan Indonesia merebut kembali harkat dan martabat bangsa sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, utuh, dan berdikari.

Tidak terasa, 70 tahun sudah negeri tercinta ini telah lepas dari penjajah kolonial. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah benar-benar merdeka dalam arti sebenarnya? Sebagian besar akan sepakat mengatakan tidak. Pasalnya, hingga saat ini hampir sebagian besar masyarakat di negeri ini masih mengalami rasa terbelenggu dan terjajah dengan berbagai hal, seperti kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Bahkan hingga kini masyarakat Indonesia juga masih mengalami penjajahan yang tidak disadari kehadirannya.

Jika dipahami secara substansial, makna penjajahan tidak terbatas pada domain fisik saja, namun makna penjajahan yang sesungguhnya jauh lebih luas lagi. Setidaknya keluasaan makna penjajahan tersebut bisa ditelusuri dari pengertian yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ed. III Depdiknas Balai Pustaka hal. 51 tahun 2005,  yang menyatakan bahwa “Penjajahan” berarti menguasai dan memerintah suatu negeri. Menguasai dan memerintah yang dimaksud disini jelas bukan sebatas penguasaan fisik dan geografis atau kewilayahaan, namun juga hegemoni dalam area lainnya. Segala bentuk pembelengguan terhadap kehidupan manusia mulai dari pemikiran, nilai-nilai, tradisi maupun karakteristik manusia juga dapat diartikan sebagai bentuk lain dari penjajahan. Penjajahan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bidang mulai dari bidang ekonomi, budaya, ideologi, dan yang mungkin luput dari perhatian adalah penjajahan yang dikemas dalam bentuk lain bernama teknologi.

 

Teknologi Sebagai Penjajah

Teknologi adalah sarana yang diciptakan untuk membantu manusia dalam melaksanakan berbagai pekerjaan. Akan tetapi perkembangan teknologi yang begitu pesat kadang telah melampaui fungsi utamanya tersebut. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana pendukung saja, akan tetapi menjadi suatu kebutuhan utama yang tanpanya manusia bahkan tidak dapat melaksanakan pekerjaannya. Tidak dipungkiri bahwa teknologi sangat memberikan kemudahan dan berbagai manfaat bagi manusia, bahkan telah membuat sesuatu yang tadinya mustahil menjadi mungkin untuk dilakukan. Meskipun begitu, perkembangan teknologi tersebut bukan saja telah menggantikan peran manusia, akan tetapi perlahan-lahan telah mengaburkan nilai jati diri manusia itu sendiri. Teknologi mampu mengubah gaya hidup seorang manusia, dari seseorang yang kreatif menjadi konsumtif, dari seseorang yang aktif menjadi pasif, dari seorang yang simpatik menjadi apatis, dari seseorang yang idealis menjadi pragmatis, dari yang berjiwa sosial menjadi individual.

Perkembangan dunia bisnis misalnya, saat ini seseorang dapat melakukan transaksi keuangan hanya dengan menggunakan smartphone di tangannya yang tanpa terasa telah menjadikan seseorang menjadi lebih konsumtif. Tradisi silaturahmi pun telah dengan mudahnya berganti menjadi sapaan ringan via aplikasi messenger dan social media tanpa harus bertatap muka. Budaya membaca buku semakin lama semakin memudar karena segala yang dibutuhkan sudah tersedia di media internet dan bahkan dapat ditemukan dengan lebih mudah melalui aplikasi search engine. Untuk mencari pasangan hidup sekali pun dapat dilakukan via dunia maya, bahkan pernikahan pun disinyalir dapat dilakukan melalui internet saja.

Berdasarkan data yang dilansir dari Carphone Warehouse, pada tahun 2012 saja, 2.8 juta anak-anak di Inggris yang berusia dibawah 15 tahun telah memiliki smartphone pribadi, 37% berusia 3-4 tahun telah mampu berselancar di internet dan 9% menggunakan gadget berupa tablet di rumah masing-masing. Data lain menyebutkan bahwa 44% pemilik smartphone tidur dengan smartphonenya untuk memastikan bahwa mereka tidak melewatkan panggilan, pesan, maupun update dari media sosial yang digunakan. Bahkan 29% pemilik smartphone menyatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpanya. We are social, sebuah agensi marketing sosial, dalam websitenya mengeluarkan sebuah laporan tahunan mengenai data jumlah pengguna website, mobile, dan media sosial dari seluruh dunia termasuk Indonesia menyebutkan bahwa 72,7 juta pengguna aktif internet (±30% penduduk), 72 juta pengguna aktif media sosial, 62 penggunanya mengakses media sosial menggunakan perangkat mobile, dan 308,2 juta pengguna handphone. Data ini menunjukkan tren perkembangan yang cukup pesat dibandingkan data pada tahun sebelumnya.

Siasat Menghadapi “Penjajah” Teknologi

Dari data dan penjelasan di atas, setidaknya dapat dipahami betapa perkembangan teknologi yang begitu pesat jika tidak diiringi dengan perkembangan mental yang kuat tentu dapat menciptakan kedangkalan berpikir yang begitu hebat. Hal inilah yang terkadang membuat kita tidak menyadari bahwa akal pikiran kita telah terjajah oleh teknologi. Teknologi bagai pedang bermata dua, di satu sisi ia begitu berguna tapi disisi lain ia begitu berbahaya. Mirisnya, penjajahan oleh teknologi ini tidak hanya terjadi pada manusia usia produktif, tetapi juga terjadi pada tunas-tunas bangsa di usia mereka yang masih dini. Penggunaan gadget misalnya, anak-anak di usia dini sudah dikenalkan dengan gadget yang pada akhirnya telah menyita sebagian besar waktu bermain dan belajarnya. Padahal anak-anak membutuhkan kegiatan-kegiatan fisik untuk merangsang saraf motorik kasarnya. Penggunaan gadget pada anak juga telah membuat anak kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Ditinjau dari sisi psikologi dan medis terdapat masih banyak dampak negatif dari penggunaan gadget terhadap anak. Pada akhirnya, anak-anak akan tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang individualis, menyukai tradisi instan dan praktis, dan memiliki kedangkalan pola pikir.

Hal inilah yang harus dihindarkan dan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua. Tantangan sesungguhnya bukanlah tentang pilihan menggunakan atau tidak menggunakan teknologi, namun tentang bagaimana menggunakannya dengan benar. Tantangannya adalah tentang bagaimana teknologi mampu dijadikan budak, bukan malah memperbudak manusia. Tentu saja, memerdekakan diri dari teknologi bukan berarti memungkiri manfaat teknologi bagi kehidupan, tetapi kita harus dapat menyambut teknologi sebagai motivasi untuk terus berinovasi, sarana untuk berkarya, dan mampu mendorong kita agar menjadi lebih kritis, bukan sekedar berpikir praktis.

Terkait dengan dengan perlunya siasat menghadapi kemajuan teknologi, Albert Einstein telah mengingatkan kita agar mengedepankan moralitas dan spirit kemanusiaan, “it has become appallingly obvious that our technology has exceeded our humanity so that the human spirit must prevail over technology”.  

Ringkasnya, semoga hari peringatan kemerdekaan yang telah kita lewati ini tidak hanya kita sambut dengan banyaknya atribut-atribut, bukan sekedar momen simbolis lewat upacara seraya menangis, ataupun lomba-lomba dengan girangnya tawa, akan tetapi juga mengingatkan kita kembali tentang momentum kemerdekaan yang telah diraih 70 tahun silam, menyiram kembali semangat nasionalisme yang semakin padam, dan menyuburkan kembali kesadaran bahwa sejatinya masih banyak penjajahan-penjajahan yang harus dituntaskan dan masih banyak pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan.

Oleh: Moch. Zainul Arifin, S.Ag,.M.Pd.I , 

Pesan Suci Ramadan
Oleh: Moch. Zainul Arifin, S.Ag,.M.Pd.I , 
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum

Syiar Ramadhan kini mengelegar di mana-mana, jutaan warga Muslim menyambut riang-gembira. Bulan suci yang dijanjikan Tuhan sebagai momen “keberkahan” disambut dengan kode-kode formal meriah. Sebagai umat beriman, hidup di bulan suci merupakan kepuasan tersendiri. Sebab, seperti dijanjikan di banyak ayat dan hadis Nabi, Ramadhan membawa “bonus” pahala tak terduga-duga.

Karena yang dipandang itu syiar, umat Islam berbondong-bondong mendatangi masjid, mereka datang silih berganti; dari pagi, siang, sore sampai malam. Semakin sering seseorang ke rumah suci Tuhan, syiar Ramadhan akan semakin seru. Logikanya, seberapa besar keaktifan seseorang meramaikan syiar itu semakin besar pula pahala dikantongi.

Lihatlah, di banyak fenomena yang cukup detail, ketika bulan puasa menyapa gambarannya tetap sama. Di sana-sini diwarnai kesibukan umat meramaikan masjid dengan syiar. Ramadhan isinya semakin sumpek. Ironis memang, selalu saja syiar-syiar itu yang ditampakkan, keadaannya selalu begitu dan akan tetap begitu seterusnya. Sepertinya, itu fenomena abadi umat Islam. Berkali-kali syiar itu diulang sehingga membuat kita jera, bahkan bosan. Bulan kerahmatan lumrah disebut bulan perayaan rumah ibadah ketimbang bulan berkah bagi umat.

Gejolak muram ini persis dialami Masyarakat beberapa hari menjelang bulan suci tiba, begitu banyak acara syiar (Tarhib Ramadhan) digelar dengan pembicara yang lagi-lagi, itu-itu saja, garis berpikirnya juga tentang, itu-itu saja. Sehingga pesan suci selalu ditampakkan versi, itu-itu saja, alias kabur dan remang-remang. Wajarlah karena sumbernya, itu-itu saja, jadi penyampaiannya yah, itu-itu saja. Dari dulu kok mereka berbicara syiar-syiar melulu. Apa nggak ada tema lain lagi selain syiar?

Sebagai bulan suci untuk manusia, Ramadhan juga moment suci untuk Tuhan, karena di bulan itu Allah menurunkan semua kitab suci-Nya: Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Sayangnya, ajaran “kitab suci” tidak sampai menjelma pada “pesan suci” yang mampu diartikulasikan dengan apik oleh kita. Malah faktanya, di bulan yang suci ini seringkali ajaran “kitab suci” dibaca ala huruf-huruf suci. Tak jarang pula mereka membacanya dengan semangat “mantraisme” dan kekuatan supranatural.

Itulah panorama syiar yang saya sebut “menggelegar” yang kini ramai bergemma di masjid-masjid ketika Ramadhan menjelang. Betapapun “pesan suci” al-Qur’an lebih penting karena itu upaya mengartikulasikannya juga sangat penting. Di bulan suci ini sepatutnya pengartikulasian itu terjadi, sebab itulah inti pesan suci Ramadhan yang esensial: yaitu dengan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an, bukan mengamalkan syiar dengan membacanya ala tadarrusan sampai mulut “berbusa-busa.”

Di sini, saya menangkap “pesan suci” Ramadhan yang sebenarnya substansial dianaktirikan. Kita lebih tergiur meramaikannya dengan “men-kitab-suci-kan” al-Qur’an daripada menalarnya sebagai “pesan suci”. Pengalaman Ramadhan sekedar diisi dengan bersusah–payah melantunkan lafadz daripada mempraktekkan isi ajaran al-Qur’an. Saking besar praktek syiar tersebut diagung-agungkan seolah-olah mengeyampingkan pesan sejatinya.

Mengamalkan pesan suci Ramadhan seyogyanya adalah dengan menganggap keimanan terhadap eksistensi al-Qur’an berpengaruh dalam praksisme kehidupan sosial. Sebagai kitab suci, ia bukan sebatas formalisasi kitab yang menuntut pribadi Muslim membacanya hingga berbunga-bungah. Tapi lebih dari itu, ia adalah blue-print praktis dan petunjuk kebenaran untuk kita terjemahkan ke realitas duniawi. Makanya al-Qur’an menutut umat untuk membahasakan idiom-idiomnya dimaknai demi keberkahan dan kesejahteraan umat manusia. Hal inilah yang sebenarnya menjadi titik tolak–ukur keimanan kita terhadap kalam Ilahi.

Ramadhan memang bertautan dengan al-Qur’an mengingat di bulan itulah kitab samawi terakhir diturunkan. Nuzulul al-Qur’an merupakan salah satu unsur keutamaan bulan tersebut. Sungguh naif jika bulan yang penuh berkah ini dipahami oleh sebagian orang sebagai kesempatan untuk mensakralkan al-Qur’an: memosisikannya sebagai “kitab suci” belaka, seperti memujanya tapi luput mengamalkannya. Atau barangkali mereka menghafal dan mentadarusinya sepanjang hari tapi tak banyak yang bangkit kesadarannya untuk mengkaji, menelaah ataupun merefleksikan “pesan suci”-nya.

Di bulan penuh pengampunan ini, tak jarang khalayak salah-kaprah memandang kedudukan al-Qur’an. Ini terjadi karena hanya menganggapnya sebatas “kitab suci” yang harus dimuliakan, diagungkan, dihafal, ditilawahkan namun nonsense tanpa realisasi nyata dari “titah” sucinya.

Seringkali syiar Ramadhan yang dirayakan dengan membaca al-Qur’an dengan semangat “kitab suci” belaka, sehingga di penghabisan bulan suci syiar yang temporal 30 hari itu hilang sama sekali. Gambaran ini samahalnya dengan orang yang berkesempatan datang bulan Ramadhan, mereka bertaubat, berlomba-lomba mengamalkan kebajikan, berbondong-bondong shalat ke masjid, namun ketika Ramadhan lewat, rutinitas ini mendadak berhenti, bahkan tidak sedikit kembali ke jalur kemaksiatan. Mereka inilah seburuk-buruk manusia, karena tidak mengenal Allah kecuali di bulan itu saja.

Bulan Ramadhan yang diproyeksi sebaqai bulan suci seharusnya meneguhkan sikap kita terhadap “pesan suci” al-Qur’an, yaitu berupaya mengartikulasikan dan mempraktekan ajaran-ajaran suci ke tataran praktis, sebab al-Qur’an tidak sebatas I’jaz yang membuai ketika dibaca dan didengar, tapi ia juga huda, petunjuk, bagi umat di dunia yang butuh diejawantahkan. Imam al-Syatibi dalam al-Muwâfaqât memberi penjelasan menarik, “Barangsiapa yang ingin mengetahui keuniversalan syari’at, berkeinginan mengenal tujuan-tujuannya serta mengikuti jejak para ahlinya, maka harus menjadikannya sebagai kawan bercakap dan teman duduknya siang dan malam dalam teori dan praktek.”

bottom of page