top of page

Budi Ichwayudi, M.Fil.I

Tiga Model Kajian Islam di Indonesia
​
 

Islam yang tumbuh dan berkembang di tanah air Indonesia ini memiliki karakteristik tersendiri dibanding Islam yang tumbuh dan berkembang di negara-negara lain di dunia. Meski pada pada awalnya mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Hindu dan Budha --setidaknya hal ini dapat ditelusuri dari berbagai macam peninggalan artefak yang unik dan kuno, seperti candi--, namun seiring dengan perjalanan sejarah, agama Islam justru menjadi agama yang mayoritas di republik ini.

​

Penulis pernah melakukan perjalanan ke Bali bersama beberapa Mahasiswa PA (Perbandingan Agama) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dalam rangka mendalami Hinduisme di Pulau Dewata tersebut. Bertemu dengan tokoh-tokoh agama Hindu di beberapa Pura dan berdialog dengan Pimpinan Universitas Hindu di Bali tentang agama Hindu untuk memperkaya wawasan tentang agama Hindu.

 

Di luar dugaan muncul statemen dari salah satu tokoh agama Hindu tersebut yang mempersoalkan, bahwa sesungguhnya kami dahulu merupakan agama mayoritas di Indonesia, bila ditinjau dari sejarah justru Islam-lah yang “merampas” atau ber’ekspansi’ di seluruh wilayah republik ini, sehingga agama kami menjadi minoritas.

Berdasarkan statement dari salah satu tokoh tersebut, penulis merasa tergelitik untuk menjelaskan kepada beliau bahwa Islam di Indonesia ini sesungguhnya sangat menghargai perbedaan keyakinan dengan agama lain, memang bila menelusuri sejarah Indonesia kita menemukan pada saat sekarang ini justru Islam-lah yang menjadi mayoritas agama di republik ini, tetapi perlu diketahui bahwa kami tidak pernah mengajak orang masuk Islam dengan cara-cara kekerasan (anarkisme), justru Islam menyebar dengan cara damai dengan cara-cara yang santun, tidak pernah dengan cara menumpahkan darah di republik ini. Para penyebar Islam di pulau Jawa yang dikenal dengan Wali Songo, tidak pernah memerintahkan untuk memerangi kepercayaan masyarakat Indonesia dahulu yang memeluk agama Hindu dan Budha dengan cara kekerasan, justru agama Islam menyebar dengan cara yang santun dan damai bahkan dengan kesadaran dari individu manusia itu sendiri yang mendapatkan pencerahan spiritual kepada keimanan atas tauhid.

​

Seiring perjalanan waktu pada saat sekarang ini maka agama Islam akhirnya memainkan peranan yang urgen dalam pergerakan roda kehidupan manusia di negara ini. berbagai pemikiran keagamaan tentang Islam yang berkembang bersamaan dengan perkembangan di lembaga-lembaga pendidikan telah mewarnai agama Islam itu sendiri. Berbagai macam model pendekatan dalam memahami Islam juga bermunculan dengan varian-varian tersendiri. Mulai model kajian Islam yang dilakukan oleh lembaga pesantren, sekolah, bahkan perguruan tinggi.  Hasilnya pun cukup variatif,  mulai dari model Islam yang tekstualis sampai kepada model memahami Islam yang kontekstualis. Abudin Nata juga mencoba memahami model-model perilaku keagamaan dalam agama Islam dengan membaginya menjadi bermacam-macam, seperti Islam Pluralis, Islam Fundamentalis, Islam Strukturalis, Islam Liberal, Islam Tradisional, Islam Modern, Islam Kultural, Islam Inklusif, Islam Eksklusif, dan berbagai varian model yang lainnya.

Tetapi bila kita mencoba melakukan observasi terhadap kajian Islam di Indonesia, maka mungkin ada benarnya tawaran dan Ulil Abshar Abdalla yang mencoba membagi 3 model mainstream kajian Islam di Indonesia, yang pertama adalah pertama yaitu model “faith based Islamic studies”, kajian Islam yang berbasis iman. Kajian Islam semacam ini biasa kita jumpai di pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga ini bisa kita sebut sebagai semacam “Islamic seminaries”, karena di dalam lembaga tersebut pada umumnya mengajarkan kepada penguatan keimanan dan ketauhidan. Yang kedua model “faith based”, yaitu berbasis iman dan propagasi, tetapi sudah mulai mengadopsi pendekatan-pendekatan ilmiah yang beragam. Kajian ini juga sudah mulai meletakkan “Islam” bukan sekedar sebagai iman saja, tetapi obyek yang dikaji. Di sini, Islam sudah diletakkan dalam suatu jarak untuk kemudian ditelaah secara “epistemologis” dengan pendekatan tertentu. Jenis kedua ini banyak dilakukan dalam kajian Islam yang berlangsung di perguruan tinggi Islam seperti IAIN, STAIN atau UIN.

​

Model ketiga adalah kajian atas Islam yang dikerjakan dalam model “religious studies” yang berkembang di Barat, dan bahkan mulai ditiru oleh para sarjana di Indonesia. Di sana, Islam sudah sepenuhnya dianggap sebagai “obyek kajian” yang sama kedudukannya dengan obyek-obyek kajian yang lain. Sebagai “obyek”, Islam tak beda dengan “masyarakat” yang menjadi kajian ilmu sosiologi, atau partikel dan benda-benda fisik solid yang menjadi kajian ilmu fisika. Sama dengan tubuh yang menjadi kajian ilmu anatomi dalam kedokteran. Dalam kajian semacam ini, faith/iman sama sekali bukan prasyarat utama. Kajian ini tidak berbasis iman, tetapi berbasis metode ilmiah yang kurang lebih obyektif. Karena itulah, seorang non-Muslim atau bahkan ateis bisa menjadi pelaku kajian Islam yang “scientific” semacam ini. Sebagaimana seorang pengkaji agama Hindu tidak harus seseorang yang mengimani ajaran agama itu. Kajian Islam model ketiga ini sifatnya saintifik dan “non-faith based”. Kalangan yang datang dari tradisi kajian Islam ala madrasah akan terheran-heran: “Kok bisa orang Kristen menguasai ilmu tafsir dan kajian Quran seperti ulama? Kenapa dia tak masuk Islam saja?” Seorang santri madrasah masih sulit membayangkan keterpisahan antara pengkaji dan obyek yang dikaji. Mereka terbiasa dengan semacam “unionisme epistemologis”, kesatuan antara “al-‘alim” dan “al-ma’lum”.

​

Sesungguhnya bila kita telusuri secara mendalam, maka kita mungkin dapat menemukan berbagai kelebihan dan kelemahan dari berbagai aspek pendekatan model-model kajian ke-Islaman di Indonesia. Menjadi tugas kita untuk menelusuri kelebihan dan kelemahan di setiap aspek pendekatan tersebut. Dan kita seharusnya sudah mulai menghargai berbagai perbedaan yang terus berkembang seiring perkembangan zaman yang terus bergerak. Seorang “santri” atau pemikir muslim harus terus mengembangkan kajian Islam dengan tetap menghargai perbedaan yang memang telah Allah ciptakan di dunia ini.

Wallahu a’lam bi shawab.

Prof Ali Maschan Moesa

Guru Besar UINSA, Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim

Tasbih dan Jati Diri NU
​
 

KONON, ketika Kiai Wahab Hasbullah selalu memohon kepada Hadhratu al-Syaikh KH M. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan wadah bagi kiai pesantren, Kiai Wahab mendahului dengan mendirikan nahdlatu al-wathan (kebangkitan bangsa), nahdlatu al-tujjar (kebangkitan para pedagang), dan tashwir al-afkar (publik opini). Akhirnya, Hadhratu al-Syaikh meminta kepada gurunya, Syaikhana Khalil dari Demangan Bangkalan, untuk melakukan sembahyang istikarah.

​

Alhamdulillah, setelah melakukannya, beliau mendapat beberapa isyarat yang diyakini bahwa para kiai diizinkan Allah SWT untuk mendirikan sebuah organisasi yang akhirnya dinamai Nahdlatul Ulama (NU). Beberapa isyarat tersebut dibawa ke Tebuireng oleh seorang kurir, yaitu KH As’ad Syamsul Arifin. Isyarat yang dimaksud adalah ’’Surah Thaha 17– 23’’ dan sebuah tasbih.

​

Menurut penuturan para kiai, ayatayat tersebut bermakna komitmen empowerment of society, khususnya kepada fuqara’-masakinmustadh’afin. Di dalam ayat-ayat tersebut, terdapat kosakata ’asha (tongkat Nabi Musa AS) yang memberikan isyarat komitmen NU terhadap eksistensi NKRI sebagai nation-state yang final.

Karena itulah, pada Muktamar Ke27 di Situbondo, NU menegaskan bahwa NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah negara. Adapun makna sebuah ’’tasbih’’ adalah dimensi spiritualitas dalam menjalankan ajaran agama. Dimensi spiritualitas atau tasawuf itulah –pada dasarnya– yang menjadi jati diri NU.

​

Sebagaimana diketahui, garis besar ajaran Islam adalah iman, Islam, dan ihsan. Setelah seratus tahun Rasul SAW wafat, barulah ilmunya disusun para ulama dengan sebutan akidah, syariat, dan akhlak yang sehari-hari juga lebih umum disebut tauhid, fikih, serta tasawuf. Di antara tiga ajaran tersebut, para kiai sadar benar bahwa ketika Rasul SAW berada di Makkah, ayat-ayat akidah dan akhlak diturunkan lebih dahulu. Setelah beliau hijrah ke Madinah, barulah turun ayat yang berisi ajaran syariat. Hal itu bermakna, dalam beragama, dimensi akidah dan tasawuf-lah yang harus didahulukan dalam konteks pengamalan keagamaan secara tepat.

​

Dalam konteks spiritualitas, saat ini populer kosakata ESQ (kecerdasan spiritual). Menurut penelitian yang mutakhir, ternyata kesuksesan manusia ditentukan oleh IQ (kecerdasan otak) hanya sekitar 27 persen, sedangkan ESQ mencapai dua kali lipatnya, yaitu sekitar 55 persen. Unsur life skill menempati sisanya. Merujuk pemahaman tersebut, NU memandang bahwa komponen dasar Islam ahlu al-sunnah wa aljamaah adalah akidah, syariat, dan akhlaq. Sebagai sumber motivasi masyarakat, agama sangat berperan dalam menumbuhkan sikap dan perilaku yang egalitarian. Implementasinya kemudian diatur dalam rumusan syariat sebagai katalog lengkap dari perintah, larangan, tausiah, serta pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia. Karena itu, Islam dan public good mempunyai titik singgung yang kuat jika keduanya dipahami sebagai sarana untuk menata kehidupan manusia secara menyeluruh. Namun, Islam tidak boleh dijadikan instrumen dan legitimasi terhadap kepentingan dunia saja. Apalagi dipahami sebagai sarana perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan belaka.

​

Dalam konteks inilah, NU tidak merespons formalisasi syariat Islam yang sudah lama muncul di tanah air yang pluralis ini. Sejak negara ini akan diproklamasikan, wacana pemberlakuan syariat telah diupayakan kalangan pejuang Islam santri, yang berhadapan dengan pejuang Islam nasionalis, yang kemudian disepakati bahwa Indonesia bukan negara agama.

Memang, seluruh umat Islam tentu harus melaksanakan ajaran agama. Persoalannya, apakah syariat harus dilembagakan sehingga harus ada kontrol dari negara dengan membentuk polisi syariat? Bukankah itu berarti dominasi negara kembali terjadi atas warganya yang semestinya diberi kebebasan untuk mengurus agamanya?

Dalam konteks seperti itulah, NU berpandangan bahwa visi kemanusiaan dari syariatlah yang paling penting untuk diimplementasikan secara lebih optimal daripada formalisasi syariat. Formalisasi syariat dikhawatirkan mengakibatkan syariat tidak lagi mencerminkan kesantunan sosial dan pembelaannya kepada dhuafa mustadh’afin. Dalam hal ini, mereka merasa diawasi ’’tuhan-tuhan kecil’’ yang menjadi polisi syariat yang siap menghukum pemeluknya.

​

Dua kemungkinan yang sama buruknya harus dihindarkan. Yaitu, politisasi agama untuk kepentingan politik tertentu atau agamanisasi politik. Politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa untuk menyusun kekuatan di parlemen dan seterusnya, namun tujuannya adalah menjadikan agama as a tool of political engeneering. Sementara itu, agamanisasi politik berarti menjadikan politik seperti agama yang berdimensi dunia akhirat.

​

Akhirnya, catatan yang bisa dikemukakan, seluruh warga NU, khususnya mereka yang akan menjadi imam dalam Muktamar Ke-33 NU, hendaknya memahami betul dimensi spiritual yang semakin tipis. Dalam konteks recovery keutuhan jamiyyah, hal itu sangat penting. Sebab, sangat terasa hari ini kurangnya rasa ukhuwah di antara para ulama. Padahal, sumber kekuatan NU terletak pada mereka. Lebih lanjut, lihat saja pembahasan tata tertib muktamar di Jombang lalu yang sampai menyita waktu selama dua hari.

Artikel ini sudah dimuat di Jawa Pos, Rubrik Opini, 5 Agustus 2015

Masdar Hilmy ,  Wakil Direktur Pascasarjana UINSA Sunan Ampel Surabaya

Pembusukan Etika Politik
​

Dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh seorang petinggi politik kita dalam kasus kontrak karya Freeport dapat menggerus kualitas politik-demokrasi dari dalam. Penggerusan semacam ini, dalam banyak hal, memberikan ancaman lebih besar ketimbang penggerusan dari luar oleh musuh-musuh eksternal demokrasi. Penggerusan tersebut mencerminkan defisit etika politik yang berpijak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih.

​

Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) mengatribusikan sikap institusi dan atau individu yang berantitesis terhadap kualitas politik-demokrasi modern sebagai "pembusukan politik". Salah satu sumber pembusukan tersebut berasal dari ketidakmampuan sebuah institusi dan atau individu-individu di dalamnya untuk merespons dan beradaptasi dengan tuntutan baru berdasarkan pada paradigma, pola pikir atau prinsip-prinsip etika politik yang baru pula.

​

Cengkeraman elite

Dalam hal terjadinya pembusukan dari dalam, institusi kenegaraan modern yang seharusnya bersifat impersonal akan rawan jatuh dalam cengkeraman elite dalam sebuah proses yang oleh Fukuyama disebut sebagai "reptarimonialisasi". Demokrasi modern secara teoretik seharusnya mampu mengatasi persoalan cengkeraman elite melalui penerapan prinsip pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih. Demokrasi semestinya melakukan distribusi public good kepada seluruh warga negara melalui perangkat kelembagaan yang ada.

Sekalipun demokrasi memiliki mekanisme pengawasan terhadap perilaku elite, ia sering kali gagal menjalankan peran pengawasan sebagaimana dikehendaki. Hal ini karena para elite biasanya memiliki akses terhadap sumber daya (ekonomi-politik) dan informasi yang mereka gunakan untuk melindungi kepentingan diri mereka sendiri. Publik tentu tidak akan marah terhadap perilaku elite yang dengan seenaknya melakukan penyalahgunaan wewenang jika mereka tidak tahu. Tetapi, publik akan menumpahkan kekesalan mereka melalui mekanisme politik-demokrasi yang ada ketika mereka mengetahui ulah "tak senonoh" elite politik kita.

​

Tindakan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden oleh siapa pun, barangkali dapat ditoleransi sepanjang ada rasionalitas publik yang kuat, adekuat, serta darurat. Namun, jika pencatutan nama keduanya dilakukan atas motif-motif yang berlawanan dengan public good, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Grant dan Keohane (2005) dalam artikel mereka, "Accountability and Abuses of Power in World Politics" menegaskan bahwa penyalahgunaan wewenang terjadi ketika "public officials act against the interests of the public". Yakni, ketika elite politik bertindak secara berlawanan dengan kepentingan publik.

​

Namun demikian, betapa pun seorang elite politik memiliki rasionalitas publik yang kuat untuk mencatut nama-nama elite politik tertentu, bukan berarti hal demikian dapat diterima dalam praktik politik modern. Elite politik yang telah menyalahgunakan wewenang dapat dipastikan mengalami defisit etika dalam berpolitik. Etika politik dalam konteks ini merujuk pada prinsip-prinsip moral yang menjadi tiang penyangga tegaknya nilai-nilai dan praktik politik yang berpijak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih.

​

Oleh karena itu, terminologi politik modern harus mengakomodasi kosakata baru terkait dengan praktik politik yang dianggap tabu: pantang menyalahgunakan wewenang demi alasan apa pun, termasuk mencatut nama-nama tertentu dan atau berbohong untuk motif dan tujuan yang apublik. Beruntunglah kita memiliki mekanisme demokrasi yang mampu melakukan koreksi, komplain, dan checks and balances terhadap praktik-praktik politik yang tak terpuji. Ke depan, untuk mengakhiri kegaduhan publik, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR harus bertindak cepat dengan menghukum ulah sebagian elitenya yang tidak etis.

 

"Tripod" etika politik

Guna mencegah pembusukan etika politik, Fukuyama menyarankan diperkuatnya sistem politik modern yang diilustrasikan sebagai "tripod" yang tiap-tiap elemennya saling menopang; negara modern, penegakan hukum, dan akuntabilitas demokratik (h. 550). Sebagai sebuah segitiga sama kaki, tripod tersebut harus berdiri secara seimbang agar dapat memastikan terjaminnya etika politik yang sehat, terbuka, dan berkeadilan. Agar "tripod" tersebut berdiri secara seimbang, rasionalitas publik harus menjadi referensi utama bagi tindakan elite politik.

Negara modern dibutuhkan untuk mengakumulasikan dan mendistribusikan kekuasaan, di lain pihak penegakan hukum dan akuntabilitas publik diperlukan untuk membatasi dan menyalurkan kekuasaan itu sendiri. Sebagai sebuah institusi, Indonesia barangkali telah memiliki persyaratan sebagai negara modern, terutama seiring dengan semakin lengkapnya perangkat kenegaraan yang ada. Namun demikian, kita harus jujur mengakui bahwa Indonesia masih mengalami persoalan serius di dua aspek lainnya; penegakan hukum dan akuntabilitas publik.

​

Jika "tripod" berdiri secara tidak berimbang, maka sebuah negara dapat terjatuh pada kediktatoran atau bahkan negara gagal. Masih menurut Fukuyama, pemerintahan patrimonial atau neopatrimonial yang dianut oleh banyak negara berkembang menjadi penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan. Melepaskan diri dari jeratan politik-demokrasi patrimonial atau neopatrimonial menuju negara demokrasi modern jauh lebih sulit ketimbang transisi politik dari rezim otoritarianisme ke rezim demokrasi.

​

Fukuyama bahkan secara khusus menyoroti kondisi politik Indonesia-bersama Brasil, Meksiko, dan India-sebagai negara yang kompetitif secara demokrasi, tetapi mengalami problem korupsi akut dan penyumbatan distribusi service delivery secara adil dan merata (h. 551). Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur kereta api di luar Jawa oleh pemerintahan Jokowi dapat dimaknai sebagai upaya mengurai persoalan terakhir di atas. Sayangnya, kerja keras pemerintah seakan "dinodai" oleh ulah tidak etis elite lainnya untuk tujuan-tujuan yang belum diketahui manfaatnya bagi publik.

Oleh karena itu, perilaku elite yang mengabaikan etika politik harus menjadi catatan bersama agar tidak menular kepada elite lainnya. Arbitrase etika politik yang berpijak pada prinsip tata pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih, harus segera ditegakkan agar penggerusan dari dalam tidak terulang lagi. Penegakan etika politik akan menjadi pintu masuk bagi terurainya berbagai bentuk penyimpangan politik yang dapat berujung pada pembusukan etika politik di negeri ini. Sebab jika ulah tidak etis para elite dibiarkan, jangan harap keadilan dan kesejahteraan distributif dapat benar-benar membumi di negeri ini.

​

Artikel ini telah dimuat di Opini Harian KOMPAS pada 05 Desember 2015

Masdar Hilmy ,  Wakil Direktur Pascasarjana UINSA Sunan Ampel Surabaya

Bidah Pola Perang Para Teroris
​

Oleh : Masdar Hilmy, PhD, Wakil direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

​

TEROR kembali mengguncang Jakarta. Setelah bom di depan Kedutaan Australia (2004) dan bom Kuningan (2009), kemarin giliran Jl MH Thamrin, tepatnya di depan Gedung Sarinah dan kedai kopi Starbucks, menjadi target pengeboman para teroris.Akibatnya, tujuh nyawa melayang dan belasan lainnya luka-luka. Apa pun motif dan alasannya, terorisme merupakan tindakan keji yang tidak patut ditoleransi karena berlawanan dengan ajaran agama mana pun di jagat ini.

​

Aparat telah mengonfirmasi, ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menjadi dalang di balik peristiwa tersebut. Itu berarti ISIS benar-benar telah ’’menepati janjinya’’ untuk menyerang Indonesia. Lebih dari itu, serangan tersebut mengirimkan sinyalemen eksistensi ISIS di negeri ini.


Sebagaimana pernah diberitakan, ISIS sebenarnya telah menebarkan ancaman kepada 70 negara, termasuk Indonesia, sebagai target serangan pasca serangan Paris (14/11/2015). Kutipan berikut seperti yang dirilis kantor berita AFP (11/9/2015) menggambarkan ancaman tersebut.


’’Apa yang, misalnya, mencegah seorang jihadis menargetkan... komunitas di Dearborn, Michigan, Los Angeles, dan New York City? Atau menargetkan misi-misi diplomatik Panama di Jakarta, Doha, dan Dubai? Atau, menargetkan misimisi diplomatik Jepang di Bosnia, Malaysia, dan Indonesia? Atau, menargetkan para diplomat Saudi di Tirana, Albania, Sarajevo, Bosnia, dan Pristina, Kosovo?’’

Jihad Bidah

Sudah selayaknya aparat negara mengambil peran afirmatif dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara dari serangan teroris.Sikap ekstrawaspada terhadap ancaman terorisme menjadi penting karena pola kekerasan para teroris tidak mengadopsi pola konvensional. Namun, meminjam istilah Bassam Tibi (2002), disebut irregular war, ’’perang tidak teratur’’.
Jika dalam urusan ideologi atau paham keagamaan para teroris cenderung konvensional-konservatif, tidak demikian halnya dalam perang. Dalam hal ini, para teroris cenderung menerapkan bidah (inovasi) dalam mengembangkan pola perang yang tidak konvensional.Bidah pertama, perang dilancarkan kepada semua pihak yang dipersepsi ’’musuh’’. Baik ’’musuh dekat’’ (al’aduww al-qarib) seperti aparat keamanan maupun musuh jauh (al’aduww al-ba’id) seperti AS dan Barat, militer maupun sipil.

​

Dalam terminologi keagamaan klasik, perang hanya dilancarkan terhadap kombatan atau militer. Sementara itu, warga sipil –terutama perempuan, anak-anak, dan orang tua– tidak termasuk dalam pihak yang diperangi.Bidah kedua, perang tidak dilancarkan oleh lembaga yang paling otoritatif, yakni kepala negara. Perang dilancarkan secara semenamena oleh individu teroris yang tidak memiliki otoritas formal atau keagamaan apa pun. Dalam tradisi pemikiran keagamaan klasik, hanya kepala negaralah yang berhak menyatakan negara dalam keadaan perang.


Bidah ketiga, perang dilancarkan tidak di medan perang (dar alharb), tetapi di negeri yang damai (dar al-salam) seperti Indonesia. Artinya, perang itu ada tempatnya. Serangan teroris terhadap pusatpusat keramaian di ruang publik, apa pun motif dan dalihnya, menyalahi kaidah perang yang benar.
Bidah keempat, para teroris menggunakan cara-cara naif menuju kebinasaan diri seperti bom bunuh diri. Sekalipun para teroris memiliki justifkasi teologis soal bom bunuh diri melalui doktrin istisyhad (mati syahid), jumhur ulama melarangnya karena hal itu bertentangan dengan semangat memelihara kehidupan. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh al-Jihad (2009) termasuk ulama yang mengecam penggunaan bom bunuh diri.Bidah kelima, para teroris cenderung memaknai jihad sebagai perang fisik (qital) yang dilakukan melalui ’’pintu belakang’’ (irhabi). Sementara itu, pemaknaan jihad yang lebih universal dan generik sebagai perang melawan hawa nafsu atau jihad damai dianggap tidak absah secara teologis karena telah dinaskh (dihapus) oleh jihad qital.

​

Solusi Menyeluruh

Untuk mencegah dan mengatasi aksi terorisme, tidak ada cara lain kecuali melakukan aksi menyeluruh mulai hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, program deradikalisasi dilakukan melalui upaya dekonstruksi dan delegitimasi paham-paham keagamaan yang dapat mengarah pada aksi terorisme. Hal itu bisa dilakukan institusi-institusi yang punya otoritas keagamaan seperti MUI serta ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.


Sementara itu, di tingkat hilir, program deradikalisasi dilakukan melalui pendekatan keamanan (security approach) dan penegakan hukum terhadap para teroris. Harus diakui, penerapan pendekatan keamanan oleh Densus 88 sering menimbulkan antipati dan dendam di kalangan teroris. Karena itu, pendekatan keamanan idealnya dilakukan setelah seluruh perangkat lunak dimaksimalkan. Dengan kata lain, fungsi pencegahan (deterrence) harus lebih diutamakan ketimbag fungsi penegakan (enforcement).


Di atas itu semua, program-program pembangunan yang berorientasi kesejahteraan harus benar-benar dijalankan secara konsisten dan simultan.Sebab, kemiskinan dan berbagai problematika sosial merupakan reservoir bagi tumbuh suburnya ideologi radikalisme-terorisme. Barulah ketika semua itu dilakukan, negara tidak bisa dikalahkan (lagi) oleh para teroris. Semoga!

​

Artikel ini sudah dimuat di Opini JawaPos, 15/1/2016.

Dra. Wahidah Zein Br Siregar, MA. Ph.D,

Kekuasaan untuk Kemaslahatan
​

Oleh : Dra. Wahidah Zein Br Siregar, MA. Ph.D, Dosen Prodi Sosiologi, FISIP UINSA Surabaya

​

Beberapa waktu lalu saya mengantarkan seorang teman menuju bandar udara (bandara) Juanda, di terminal 2. Waktu itu hari masih pagi. Teman tersebut akan naik pesawat Garuda penerbangan pertama menuju Jakarta, pukul 5.25 WIB. Karenanya kami berangkat dari rumah jam 4 pagi. Kebetulan rumah saya memang berjarak sekitar 10 km dari bandara. Sehingga jika tidak ada rintangan apa-apa saya akan sampai di Bandara dalam waktu kurang dari 30 menit.

​

Hampir memasuki bandara, ternyata terjadi kemacetan di depan pintu masuk. Mobil-mobil antri untuk mengambil karcis parkir yang diambil melalui mesin. Tidak ada petugas yang mengambilkan karcis buat para supir, meskipun terkadang ada juga anggota marinir dengan seragam lorengnya yang khas membantu mengambilkannya. Beberapa kali saya mendapat pertolongan ini. Kebetulan memang cukup sering saya menjadi supir, mengantar atau menjemput keluarga atau teman di bandara ini.

​

Apa yang menjadi sumber kemacetan? Selain volume mobil yang banyak, ternyata satu dari dua mesin karcis mengalami kerusakan, sehingga semua mobil tertuju pada satu pintu masuk saja. Namun, semua mobil yang masuk tampaknya sabar menunggu antriannya tiba. Tetapi, tanpa disangka, dari sisi kiri saya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berplat kendaraan dinas militer dengan warnanya yang khas melaju dengan kencang dan kasar berusaha menyalip mobil saya. Padahal saya sudah hampir mencapai mesin karcis parkir. Dia berusaha menerobos mendahului mobil saya, memotong antrian mobil yang panjang ini.

Dia membuka jendela mobilnya, menjulurkan tangannya meminta agar bisa langsung mendekati mesin dan mengambil karcis. Saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa supir mobil ini. Tetapi tentulah dia seorang anggota militer. Kalau tidak, tentu tidak boleh dia mengendarai mobil dinas militer tersebut. Dengan mengelus dada saya memberi jalan padanya. Memberinya kesempatan untuk mendahului mobil saya. Saya berusaha untuk berpikir positif, pastilah dia sedang terburu-buru. Mungkin akan mengantar seseorang yang sangat tinggi kedudukannya, atau bisa jadi dia sedang sakit perut sehingga ingin cepat-cepat pergi ke toilet. Sebab, setelah mendapatkan karcis dia tetap melajukan mobilnya dengan kencang. 

​

Setelah mendrop teman saya di pintu keberangkatan, saya kembali menjalankan mobil menuju pintu keluar. Kali ini tidak terjadi antrian yang terlalu panjang karena ada empat pintu keluar parkir yang dibuka. Memang di terminal 2 ini, jumlah pintu keluar mobil lebih banyak dari pada pintu masuknya. Kalau saya tidak salah ada 5 pintu keluar, dan seperti yang saya jelaskan sebelumnya, hanya ada 2 pintu masuknya.

Mobil-mobil memilih pintu keluar sesuai dengan jalurnya masing-masing. Sayapun dengan tenang berusaha memilih pintu keluar yang sesuai dengan jalur mobil saya. Ada satu mobil saja di depan mobil saya menuju giliran saya untuk sampai pada loket pengembalian karcis. Tetapi, tiba-tiba saja, mobil sedan yang sama, yang memotong antrian ketika saya masuk ke bandara, tiba-tiba sudah berada di samping saya. Dia kembali memotong antrian untuk diberi kesempatan sampai di loket pengembalian karcis lebih dahulu. Kali ini saya tidak lagi bisa berpikir positif. Saya merasa kesal dan sedih. Bukan hanya karena dia memotong antrian saya tetapi sedih pada atribut-atribut kedinasan yang digunakan oleh supir tersebut. Yang paling jelas saya lihat adalah bahwa dia menggunakan mobil dinas militer (Tentara Nasional Indonesia). Saya merasakan supir tersebut sangatlah sombong. Atribut kedinasaannya digunakannya untuk menunjukkan kekuasaan, kekuatan kepada rakyat biasa seperti saya. Dia tidak perlu menghormati rakyat tetapi rakyatlah yang harus selalu menghormatinya, memberi kemudahan baginya dalam segala urusannya. Rakyat harus tunduk padanya, tanpa syarat. Dia dapat mengambil hak orang lain tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang yang diambil haknya itu. 

​

Mungkin terlalu jauh analogi yang saya kemukakan. Bisa jadi saya dianggap terlalu berlebihan dalam memberikan penilaian. Tetapi itulah yang saya rasakan saat itu. Fakta yang saya alami pagi itu membuat saya merenung bahwa masih cukup banyak orang yang belum menggunakan kekuasaannya untuk memberikan sebanyak mungkin kemanfaatan atau kemaslahatan bagi orang lainnya. Padahal kalau kita ingat hadits Rasulullah: “Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan) yang dimilikinya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan (kata-kata)nya. Jika ia tetap tidak mampu maka hendaklah dia mencegah dengan hatinya, meskipun itu adalah selemah-lemahnya iman”. Jelas sekali dari Hadits Rasulullah tersebut, bahwa kekuasaan itu harus digunakan untuk mencegah terjadinya kemungkaran.

​

Tentu saja tidak semua pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya seperti apa yang telah saya jelaskan tadi. Ada juga mereka yang dengan kekuasaannya menolong orang lain. Seperti yang sudah saya sebutkan terkadang bapak marinir di Juanda menolong para supir untuk mengambilkan tiket parkir dari mesin di pintu masuk area bandara. Tetapi entah saya yang terlalu perasa, entah memang begitu kenyataannya, hanya sedikit dari mereka yang memiliki kekuasaan yang pernah saya jumpai bisa memahami bahwa kekuasaannya sebaiknya dipergunakan untuk memberi kemaslahatan pada siapa saja. Tidak hanya untuk dirinya. Bayangkan saja berapa besar kemanfaatan yang bisa diberikan oleh seorang ayah ketika kekuasaannya di keluarga digunakannya untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, melarang mereka untuk berbuat kejahatan dan seterusnya.

​

Saya berharap sekaligus berdo’a bahwa semua civitas akademika di universitas kita yang kita cintai bersama ini, khususnya pada mahasiswa yang sedang menimba ilmu, jika suatu hari mereka memiliki kekuasaan di bidang apapun itu, maka mereka dapat menggunakan kekuasaan itu untuk berbagai kemaslahatan. Mengutip salah satu definisi yang dikemukakan oleh Thomas M Magstadt dalam bukunya “Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues” (Belmont, 2009:5), kekuasaan adalah “the ability of governments, and of governmental leaders, to make and enforce rules and to influence the behavior of individuals or groups…” kemampuan pemerintah-pemerintah atau pemimpin-pemimpin pemerintah untuk membuat atau menetapkan peraturan-peraturan dan untuk mempengaruhi sikap individu-individu atau kelompok-kelompok, tentu bisa dipahami betapa besar peran para pemimpim, mereka yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan kebaikan, atau sebaliknya keburukan bagi lingkungannya, bagi orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin harus bisa menunjukkan sikap yang baik, yang menghargai hak orang lain, yang menghormati hukum yang dibuatnya, jika ingin orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya juga bersikap baik. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan oleh bapak anggota militer yang menggunakan mobil dinasnya, memotong jalur antrian mobil yang sudah teratur dengan sesuka hatinya, tentulah tidak patut untuk ditiru. 

bottom of page